Bisakah Perempuan Memimpin di Masa Krisis?

Kamis, 16 Desember 2021 10:33 WIB

Penulis:Herri

Editor:Herri

Fina Leonita, Mahasiswa Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia Angkatan 2020.
Fina Leonita, Mahasiswa Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia Angkatan 2020. (Foto: Dokumentasi Fina Leonita/lyfebengkulu.com)

PANDEMI Covid-19 merupakan suatu masa yang menantang yang harus dihadapi oleh masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia. Seluruh keberlangsungan hidup masyarakat menjadi berubah dan berfokus untuk mencari cara menekan angka terinfeksi virus dan dapat bertahan dengan skema kehidupan yang mengutamakan pembatasan sosial. 

Peran pemimpin suatu daerah atau negara menjadi suatu hal yang awal mulanya tidak begitu terasa menjadi sangat terasa eksistensinya, bahkan di beberapa situasi menduduki posisi yang krusial. Menjadi menarik ketika membahas mengenai bagaimana cara kaum perempuan memimpin di masa-masa krisis. 

Perempuan yang memiliki sejarah panjang dalam menyuarakan suaranya tentu memiliki tantangan yang harus dihadapi saat suara masyarakat telah dipercayakannya kepadanya. Cara pemimpin perempuan memimpin di masa krisis pun menjadi hal yang kerap disoroti mulai dari presiden perempuan, menteri perempuan, hingga pemimpin daerah perempuan. 

Ingin memimpin dalam lingkup yang besar hingga terkecil sekalipun gaya kepemimpinan perempuan termasuk dalam perjuangan panjang perempuan hadir di dalam dunia politik. Perjuangan perempuan dalam politik merupakan perjalanan panjang dalam sejarah kesetaraan gender dan penjaminan hak perempuan untuk bebas menggunakan haknya dalam berekspresi, berpendapat, dan berpartisipasi dalam kontestasi politik. 

Indonesia sebagai negara demokrasi membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk perempuan. Apabila melihat dari sisi sejarah perjuangan perempuan, kedudukan perempuan seringkali dianggap sebagai kelompok marginal yang membutuhkan usaha untuk berekspresi dan mengeluarkan pikiran. Faktor inilah yang juga menentukan tingkat kebebasan berekspresi dan berpendapat perempuan di suatu negara. 

Partisipasi perempuan dalam politik dapat menjadi indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kebebasan perempuan dalam pendapat. Posisi politik yang dapat dijabat oleh perempuan baik dalam lembaga eksekutif maupun legislatif dapat memberi kebebasan terhadap perempuan untuk menggunakan haknya dalam berpolitik. 

Tidak sedikit perempuan yang ingin menggunakan hak berpolitiknya secara maksimal dengan berpartisipasi dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Perempuan menjadi kepala daerah akan mempunyai banyak wewenang yang berpengaruh secara signifikan terhadap lingkungan. 

Perlu direnungi bahwa saat ini  tidak heran apabila saat ini perempuan masih belum sepenuhnya menerima hak yang seharusnya dia dapatkan, sehingga terdapat pihak lain baik dalam bentuk individu, kelompok, norma, bahkan aturan mengikat yang mempunyai kewenangan untuk memberikan makna, mengikat dalam aturan, dan bahkan melakukan kontrol penuh atas perempuan itu sendiri. 

Hingga saat ini, konstruksi ataupun pemaknaan perempuan baik dalam ranah publik maupun privat menjadikan perempuan pada posisi subordinat sehingga menyebabkan kerentanan sosial baik secara fisik, dan bahkan keberadaan atau eksistensi perempuan itu sendiri. 

Dalam wacana masyarakat umum, posisi perempuan dikonstruksikan sebagai bentuk pasangan yang berlawanan (oposisi biner) dengan laki-laki. Laki-laki dikonstruksikan dengan atas (up), kanan (right), tinggi (high), kebudayaan (culture), kekuatan (power), dan kekuatan (strength). Sedangkan perempuan dikonstruksikan sebaliknya, yakni bawah (down), alam (nature), dan kelemahan (weakness) (Moore dalam Saptandari 2013, 65). Konstruksi tersebut membentuk wacana perempuan yang berada posisi subordinat yang kemudian berpengaruh signifikan pada kehidupan sosial.

Di masa pandemi cara kepemimpinan perempuan dianggap memiliki cara tersendiri dan dapat diandalkan karena terdapat perbedaan dari kemampuan komunikasi para pemimpin perempuan. Komunikasi yang diberikan oleh pemimpin perempuan  dianggap penuh kasih serta terasa oleh masyarakat karena dianggap bukan hanya menggunakan logika melainkan menggunakan hati dan bisa langsung berempati. Cara kepemimpinan ini menawarkan masyarakat perasaan aman dan tenang terutama di situasi pandemi. 

Perjuangan perempuan untuk dapat berada pada posisi strategis di pemerintahan adalah perjalanan yang panjang. Memastikan perempuan dapat berpartisipasi dalam dunia politik pun sangat dibutuhkan untuk pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik. 

Momentum Covid-19 dapat dilihat sebagai momentum yang menunjukkan kualitas perempuan bahwa dapat juga memimpin dengan caranya sendiri di masa pandemi. Sehingga peran dari berbagai pihak perlu dilakukan untuk memastikan pemimpin perempuan dapat dengan maksimal menjalankan hak berpolitiknya bukan hanya sebagai perwakilan gender perempuan, melainkan memaksimalkan partisipasi politiknya dan memberikan kebermanfaatan bagi lingkungan sekitar. (*)

Penulis: Fina Leonita, Mahasiswa Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia Angkatan 2020

Referensi:

Saptandari, Pinky. (2013). “Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi.” Biokultural 2 (No.1): 53-71.