Darurat Kekerasan Seksual, Bengkulu Perlu Rumah Aman

Sabtu, 18 Desember 2021 10:43 WIB

Penulis:Herlina

Editor:Herlina

mengembalikan-senyum-anak-korban-pelecehan-seksual-di-cirebon.png

BENGKULU,lyfebengkulu.com-  Bengkulu darurat kekerasan seksual. Ini diungkapkan Direktur Yayasan Pusat Pendidikan Untuk Perempuan dan Anak (PUPA), Bengkulu, Susi Handayani.   

Berdasarkan catatan Yayasan PUPA angka kekerasan anak di Bengkulu dalam kurun waktu Januari 2019 hingga Juni 2020 mencapai 1.054 kasus.  Jumlah tersebut berdasarkan dokumentasi publikasi kasus yang mencuat di media. Namun tidak semua kasus berlanjut ke pelaporan dan mendapatkan proses pendampingan.   

“Tidak ada toleransi untuk angka kekerasan seksual terhadap anak. Idealnya harus nol kasus,” kata Susi. 

Data Simfoni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) membagi jumlah kasus kekerasan seksual berdasarkan usia. Korban di Provinsi Bengkulu pada tahun 2020, bila dikategorikan berdasarkan umur, didominasi usia 0 tahun sampai 17 tahun. 

Rinciannya usia 0-6 tahun sebanyak 15 kasus, usia 6-12 tahun (54), usia 13-17 (65). Menyusul usia 18-24 tahun sebanyak 21 kasus, usia 25-44 tahun (25) dan usia 45 tahun hingga 60 ke atas sebanyak 6 kasus. Berdasarkan jenjang pendidikan, yang terbanyak korban masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), yakni 52 orang. Menyusul korban belum masuk usia sekolah sebanyak 42 orang. Bila dilihat dari hubungan antara pelaku dengan korban, didominasi oleh pacar atau teman, yaitu sebanyak 56 kasus. 

Untuk di Bengkulu, lanjut Susi, saat ini yang sudah cukup berjalan baik baru sebatas sistem peradilan anak. “Ini bisa dilihat dari unsur orang-orang yang terlibat. Setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus didampingi Peksos, dan laporan Peksos itu diakui sebagai bahan pertimbangan hakim,” katanya.

“Kondisinya saat ini lebih pada implementasi dan kebijakan penganggaran masih minim. Contohnya saja soal rumah aman. Di Bengkulu ini kan belum ada, harusnya ini di dorong untuk ada. Mulai dari penganggarannya. Jadi ketika semuanya berjalan itu perwujudkan pemerintah bertanggungjawab atas perlindungan anak,” beber Susi. 

Senada disampikan Pekerja Sosial dari Kemensos, Hilda Sriwanti. “Bengkulu sudah darurat kekerasan seksual. Untuk tahun ini saja hingga November sudah ada 75 kasus di Kota Bengkulu. Itu yang didampingi saja,” katanya.  

Kenapa dikatakan darurat? “Karena pelaku sudah bukan lagi orang jauh, tapi sudah orang terdekat, bukan hanya orang dewasa tapi pelaku juga usia anak dan (korbannya) masih anak-anak yang secara reproduksi belum berkembang,” tegas Hilda. 

“Masa-masa ini, kondisi dimana anak belum tahu mana yang benar dan mana yang salah, bahwa tindakan disentuh, dicabuli bahkan diperkosa itu adalah tindakan yang salah. Kondisi usia dimana anak-anak belum dapat diminta persetujuannya,” kata Hilda.  

Di Provinsi Bengkulu belum ada dukungan untuk proses pemulihan trauma anak-anak korban kekerasan seksual. Tahapan pemulihan trauma itu meliputi recovery dan monitoring. Kedua hal tersebut, kata Hilda, menjadi kunci mampu atau tidaknya anak korban kekerasan seksual dalam melakukan reintegrasi. 

Selama proses recovery, anak yang menjadi korban kekerasan akan dipantau selama 24 jam. Mereka akan diberi banyak aktivitas, keterampilan, serta terapi spiritual. Setelah itu baru dimonitoring apakah ia sudah dapat dikembalikan ke keluarga atau bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah atau masyarakat.  Jika proses pemulihan tidak masuk dalam rangkaian penanganan anak-anak korban kekerasan seksual, maka tidak menutup kemungkinan dikemudian hari ia akan menjadi pelaku.  

Minimnya dukungan terhadap mereka di Bengkulu juga dapat dilihat dari sulitnya para pekerja sosial untuk mencari rumah aman atau rumah untuk menampung anak-anak korban kekerasan seksual yang tidak mendapatkan dukungan dari keluarga. Meskipun sudah mengkantongi predikat Kota Layak Anak, namun di Kota Bengkulu sendiri belum ada fasilitas layanan tersebut.

Akibatnya, panti asuhan menjadi alternatif pilihan. Masalahnya, tidak semua pengelola panti asuhan memahami bagaimana cara mengasuh dan memperlakukannya anak-anak korban kekerasan seksual.

“Terkadang memang pantinya tidak bersedia karena takut,  ketika mereka tahu bahwa ini adalah anak korban kekerasan. Stigma negatif itu pasti ada. Mereka takut anak korban kekerasan ini memberikan dampak pengaruh dampak negatif terhadap anak-anak yang lain, karena korban sudah mengalami peristiwa seksual. Jadi dikhawatirkan akan menularkan,” kata Hilda.

Untuk mengantisipasi penolakan panti asuhan, keberadaan rumah perlindungan sosial menjadi satu-satunya fasilitas layanan yang harus disediakan di Bengkulu. “Jika sebatas rumah aman sifatnya sementara, namun rumah perlindungan sosial lingkungan sosial secara fungsi dapat menjadi tempat rehabilitasi bagi anak-anak korban kekerasan seksual atau anak yang bermasalah lainnya. Saat ini di Sumatera baru ada tiga, yakni satu di Jambi dan dua ada di Riau,” pungkasnya.

Hilda menambahkan, umumnya masyarakat kurang peduli terhadap kasus kekerasan seksual. Padahal, ini seharusnya menjadi tanggungjawab bersama masyarakat dan negara. Pemerintah perlu mendidik publik agar tahu ke mana harus melapor saat mengetahui kasusnya. Masyarakat juga harus lebih peka kalau melihat kejanggalan yang kemungkinan menjadi tanda terjadinya kasus kekerasan seksual. “(Pemerintah dan masyarakat) Harus bersama-sama,” kata Hilda. 

Anggaran Minim Dinas Sosial

Kepala Seksi Anak Dinas Sosial Provinsi Bengkulu, Renni Destiana mengakui minimnya anggaran menjadi penyebab keterbatasan dalam memaksimalkan layanan pendampingan anak-anak korban kekerasan seksual. Apalagi saat ini ada aturan Permendagri yang membatasi gerak Dinas Sosial.

“Sejauh ini Dinsos bekerjasama dengan Peksos dalam memberikan untuk pendampingan bisa langsung ke Dinsos. Implementasi belum bisa diterapkan banyak karena keterbatasan anggaran,” kata Renni.

Pemerintah Provinsi Bengkulu sempat memiliki shelter anak pada tahun 2003 hingga 2013. Setelah tidak ada anggaran lagi dari pusat, dan daerah tidak ada support dalam bentuk dana operasional, program itu tidak bisa dilanjutkan. “Hanya support tempat, operasionalnya tidak disediakan. Kita upayakan (ada di) Dinsos Kabupaten dan Kota. Mungkin di tahun depan,” tambah Renni.  (bth)