taman nasional komodo
Selasa, 02 Desember 2025 09:43 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah

JAKARTA – Baru-baru ini muncul kembali sebuah video lama yang menampilkan Presiden Prabowo Subianto. Dalam video tersebut, ia menyampaikan bahwa Indonesia seharusnya menambah area perkebunan kelapa sawit tanpa perlu khawatir akan dampak lingkungan ataupun isu deforestasi.
Ia menilai bahwa anggapan yang menyebutkan perkebunan sawit sebagai penyebab utama deforestasi tidaklah akurat, karena menurutnya pohon kelapa sawit juga berperan menyerap karbon dioksida.
“Saya kira ke depan kita harus tambah tanam kelapa sawit. Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan?” kata Prabowo dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Gedung Bappenas, Menteng, Jakarta Pusat, Senin, 30 Desember 2024.
“Benar enggak, kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida, dari mana kok kita dituduh yang boten-boten saja itu orang-orang itu,” sambungnya.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia yang pertumbuhannya terus meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas kebun kelapa sawit menunjukkan tren kenaikan setiap tahun sepanjang 2016-2021.
Hal tersebut terlihat dari perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, terutama di wilayah Sumatra dan Kalimantan. Di balik bayang-bayang produksi komoditas ekspor yang menguntungkan ini, ekosistem hutan tropis yang heterogen telah dengan cepat dialihfungsikan menjadi hamparan tanaman tunggal atau monokultur.
Perubahan tersebut menyebabkan kerusakan keanekaragaman hayati yang terkandung dalam hutan, padahal secara alami hutan merupakan habitat bagi berbagai jenis tumbuhan dan beragam spesies. Mereka sangat bergantung pada keberadaan hutan tropis untuk kelangsungan hidupnya.
Bahkan, perluasan perkebunan kelapa sawit turut menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Selama dua dekade terakhir, industri kelapa sawit telah melahap sekitar 9,79 juta hektare hutan tropis di Indonesia, setara dengan 11% dari total luas hutan pada tahun 2000.
Tanah yang dialihfungsikan menjadi sawit umumnya mengalami penurunan keanekaragaman hayati karena ditanami satu jenis tanaman dalam waktu lama. Aktivitas mikroba menurun, sementara penggunaan alat berat dan sistem pengelolaan kebun menyebabkan tanah menjadi lebih padat.
Akibatnya, saat hujan deras turun, air sulit meresap ke dalam tanah, sehingga limpasan permukaan meningkat dan membawa lebih banyak sedimen. Kondisi tersebut membuat wilayah di sekitar perkebunan menjadi lebih rentan terhadap banjir dibandingkan kawasan hutan yang masih utuh.
Menurut Kazuki Iwasa dalam buku Pancaroba Tropika: Perubahan Lingkungan Hidup di Asia Tenggara (2021), perluasan perkebunan sawit yang tidak terkendali menyebabkan Indonesia menghadapi berbagai masalah, seperti lenyapnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran, deforestasi, pembakaran hutan, dan sengketa agraria.
Di samping itu, meski sama-sama memiliki daun, batang, dan akar serta mampu menyerap karbon dioksida, perkebunan sawit tidak bisa disamakan dengan peran besar hutan di Bumi.
Menurut penelitian Briantama Asmara dan Timothy O. Randhir dalam jurnal Modeling the Impacts of Oil Palm Plantations on Water Quantity and Quality in the Kais River Watershed of Indonesia (2024), pengembangan perkebunan kelapa sawit menyebabkan peningkatan limpasan permukaan hingga 21% dan sedimentasi sebesar 16,9% jika dibandingkan dengan kondisi hutan alami.
Artinya, kebun sawit tidak mampu menyerap dan menahan air seefektif hutan, sehingga memicu meningkatnya risiko pencemaran air, banjir, dan longsor.
Beragam kajian ilmiah menunjukkan perkebunan kelapa sawit tidak bisa menggantikan peran ekologis hutan dalam menjaga keanekaragaman hayati, kestabilan siklus air, dan menyimpan karbon dalam jangka panjang.
Dalam ekosistem hutan, struktur akar pohon yang kokoh dan beragam mampu menahan air hujan di dalam tanah, sehingga mengurangi limpasan permukaan yang berpotensi menimbulkan banjir, erosi, dan longsor.
Selain itu, kanopi berlapis di hutan berfungsi menahan derasnya hujan, menjaga kelembaban, dan menstabilkan suhu lingkungan mikro.
Sementara, pada perkebunan sawit, akar serabut yang cenderung dangkal hanya mampu menyerap air dalam jumlah terbatas. Kanopi tunggal menyebabkan air langsung jatuh ke permukaan tanah, sehingga meningkatkan kerentanan kawasan terhadap degradasi tanah.
Memang sawit termasuk tanaman berkayu, tapi struktur tubuhnya tidak sekompleks pohon di hutan tropis yang memiliki lapisan vegetasi berjenjang. Sawit tumbuh secara tunggal tanpa kanopi tebal, sehingga volume kayu yang terbentuk jauh lebih sedikit.
Akibatnya, kapasitas penyimpanan karbonnya lebih rendah, meski secara visual tampak tinggi dan besar. Dalam riset ekologi, kemampuan menyerap dan menyimpan karbon sangat ditentukan oleh besarnya biomassa serta keanekaragaman vegetasi di sekitarnya.
Hutan mampu menyerap karbon dioksida jauh lebih efektif dibandingkan perkebunan kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit hanya memiliki kurang dari 20% biomassa di atas tanah jika dibandingkan dengan pohon-pohon di hutan hujan tropis.
Dengan demikian, kapasitas perkebunan kelapa sawit untuk menyerap karbon dioksida dari atmosfer tergolong lebih rendah.
Proses pengembangan perkebunan kelapa sawit kerap menghasilkan emisi karbon dioksida yang signifikan. Sebagian kebun kelapa sawit terletak di lahan gambut yang kaya karbon. Lahan gambut ini harus dikeringkan untuk menanam kelapa sawit, dan proses pengeringan tersebut melepaskan karbon dioksida dalam jumlah besar, sehingga secara signifikan meningkatkan emisi CO₂.
Selain itu, pembukaan lahan melalui pembakaran hutan merupakan salah satu faktor utama yang mendorong pemanasan global dan menimbulkan berbagai bencana lingkungan di Indonesia.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 01 Dec 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 02 Des 2025
Bagikan
taman nasional komodo
2 bulan yang lalu
Lingkungan
2 bulan yang lalu