Jangan Anggap Remeh! Harga Beras Naik, Anak Muda Perlu Melek Ekonomi

Selasa, 24 Juni 2025 20:38 WIB

Penulis:Redaksi Daerah

Editor:Redaksi Daerah

Waspada! Harga Beras Diam-diam Naik, Anak Muda Perlu Melek Inflasi Pangan
Waspada! Harga Beras Diam-diam Naik, Anak Muda Perlu Melek Inflasi Pangan (Freepik)

JAKARTA – Di tengah konflik antara Israel dan Iran serta meningkatnya ketegangan geopolitik global, terdapat dampak penting yang sering luput dari perhatian, yaitu ancaman terhadap kelancaran rantai pasok pangan.

Menurut pengamat pertanian Syaiful Bahari, meskipun Indonesia masih mampu memproduksi sejumlah komoditas utama seperti beras dan jagung secara mandiri, ketergantungan pada impor bahan bakar dan bahan baku tetap menjadi risiko serius yang dapat memengaruhi stabilitas harga pangan di dalam negeri.

Yang menjadi ironi, sebagian besar generasi muda—khususnya kelompok usia 18 hingga 35 tahun—masih belum menyadari adanya inflasi pangan yang telah terjadi selama dua hingga tiga tahun terakhir.

“Bahkan kenaikan harga beras dari Rp10 ribu ke Rp15.000r per kilogram itu dianggap biasa. Padahal itu naik hampir 50 persen dalam waktu singkat. Masyarakat kita belum cukup melek inflasi,” tambah Saiful kepada TrenAsia.id pada Senin, 23 Juni 2025.

Saiful mengungkapkan, kesadaran finansial dan literasi ekonomi di kalangan generasi muda masih cenderung minim, terutama soal inflasi yang berasal dari pangan. Mereka disebut Saiful lebih peduli pada harga kopi atau biaya konser dibanding harga kebutuhan pokok harian yang sebenarnya lebih berdampak terhadap stabilitas keuangan rumah tangga.

Dihubungi terpisah, pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian menyebut tidak semua anak-anak muda yang tinggal di perkotaan melek digital memahami isu inflasi dan isu kebijakan publik lainnya.

Namun mereka dinilai relatif sering terpapar informasi dibandingkan yang tidak melek digital sama sekali karena berita di medsos sangat bertebaran.

"Mayoritas penggunaan internet penduduk indonesia untuk hiburan dan komunikasi. untuk mencari informasi atau belajar itu masih relatif sedikit. jadi memang anak-anak muda ini harus aktif mengawal isu kebijakan publik," jelasnya

Antara Supermarket, Online Shop, dan Pasar Tradisional

Saiful mengatakan, dari sisi fenomena belanja daring atau online juga menggeser pola konsumsi. Banyak anak muda kini lebih memilih berbelanja bahan pangan melalui e-commerce atau layanan antar.

Namun, menurut Saiful, perbedaan harga antara online dan offline kini tidak lagi signifikan. “Harga di online dan offline sekarang tipis bedanya. Bahkan di beberapa platform, harga bisa sama. Kompetisi justru terjadi pada biaya pengiriman dan kecepatan logistik.” jelasnya

Dampaknya, pasar tradisional makin sepi pembeli, sementara produsen dan distributor dipaksa mengikuti tren digital agar tetap bertahan. Namun Saiful menambahkan, inflasi pangan bukan berasal dari platform mana produk dijual, melainkan dari kenaikan biaya input dan logistik yang menekan seluruh rantai distribusi.

Berbeda dengan Saiful, Eliza menyebut belanja online memang mendominasi tren anak muda. Eliza mengatakan hampir 60% generasi Z dan milenial berbelanja kebutuhan pangan melalui platform online.

Namun yang menjadi perhatiannya adalah tren belanja anak muda ini bergantung daerahnya. Di mana anak-anak muda yang daerahnya ada akses internet dan layanan ekspedisi, mereka dengan mudah mengakses internet.

"Terlebih lagi tingkat penetrasi internet kita relatif tinggi yakni 77% pada 2025. alasan berbelanja online ini karena banyaknya promosi agresif (diskon, cashback, gratis ongkir)," ujarnya

Untuk beberapa daerah dengan infrastruktur digital yang terbatas, Eliza menyebut berbelanja di pasar tradisional atau offline ini masih digemari. Ketimpangan infrastuktur digital antara jawa luar jawa masih begitu tinggi, bahkan sesama daerah di pulau jawa saja masih ada yg blank spot.

"Pasar tradisonal misalnya tetap menjadi pilihan untuk beli kebutuhan pangan, papan  karena karena harga lebih kompetitif dibandingkan supermarket atau platform online untuk di daerah yang memang infrastruktur digitalnya kurang memadai," tuturnya.

Intervensi Pemerintah Tak Cukup Menyeluruh

Saiful menyayangkan pemerintah kerap merespons gejolak harga dengan kebijakan administratif, seperti menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Tapi kenyataannya, harga pasar tetap lebih tinggi dari HET yang ditetapkan.

“Kalau harga gabah ditetapkan Rp6.500, rendemen 50% maka harga beras minimal Rp13.000. Bagaimana mungkin HET-nya Rp12.500? Produsen pasti rugi,” kritik Saiful.

Ia menambahkan, kebijakan harga kerap hanya menyelesaikan satu sisi, namun memunculkan masalah baru di sisi lain petani senang karena harga gabah naik, tapi konsumen menjerit karena harga beras makin tinggi.

Diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif untuk mengatasi risiko inflasi pangan yang makin membebani masyarakat, terutama generasi muda yang secara sosial dan finansial masih rentan.

Beberapa solusi yang disarankan:

  • Edukasi literasi pangan dan inflasi kepada publik
  • Transparansi data harga pangan riil, bukan sekadar angka dari BPS
  • Subsidi yang adil untuk input produksi dan bantuan langsung ke kelompok rentan
  • Penguatan distribusi lokal untuk menekan biaya logistik

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Debrinata Rizky pada 24 Jun 2025 

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 24 Jun 2025