Jumat, 25 Juli 2025 21:20 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA - Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja dipicu oleh sengketa berkepanjangan terkait kuil Preah Vihear. Meskipun Mahkamah Internasional telah memutuskan kepemilikan kuil tersebut pada tahun 1962, perbedaan penafsiran mengenai batas wilayah di sekitarnya terus menjadi sumber ketegangan.
Selain menelan korban jiwa dan merusak infrastruktur, konflik ini juga membawa dampak serius terhadap perekonomian kedua negara. Thailand, sebagai ekonomi terbesar kedua di ASEAN, sebenarnya tengah menghadapi tekanan ekonomi yang berat.
Bank Dunia telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Thailand pada tahun 2025 menjadi 1,8% dan hanya 1,7% untuk 2026, yang merupakan tingkat pertumbuhan terendah sejak pandemi COVID-19 pada 2020.
Konflik perbatasan dengan Kamboja menambah daftar tantangan yang dihadapi Thailand, di samping tekanan eksternal seperti ancaman tarif tinggi dari Amerika Serikat hingga 36% atas produk ekspor.
Sektor ekspor utama Thailand, terutama elektronik dan otomotif, terancam penurunan nilai, sementara neraca perdagangan mengalami defisit sebesar US$ 1,88 miliar pada Januari 2025-terburuk sejak 2013.
Ketidakstabilan politik turut memperparah situasi. Penangguhan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra pada Juli 2025 menyebabkan tertundanya pembahasan anggaran 2026 dan mengguncang kepercayaan investor domestik maupun asing.
Bursa saham Thailand telah mencatatkan penurunan sebesar 23% sejak awal tahun, menjadikannya salah satu pasar berkinerja terburuk di dunia saat ini. Selain itu, sektor pariwisata yang selama ini menjadi andalan Thailand ikut melemah.
Hal itu khususnya akibat penurunan wisatawan long-haul yang biasanya menyumbang devisa besar. Konsumsi domestik juga terhambat oleh tingginya utang rumah tangga yang mencapai 80% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Berbanding terbalik dengan Thailand, Kamboja justru menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi di tengah situasi yang menegangkan. Proyeksi pertumbuhan ekonomi negara ini berada di kisaran 6-6,3% pada 2025, ditopang oleh masuknya investasi asing di sektor infrastruktur dan manufaktur.
Sektor garmen, yang menyumbang sekitar sepertiga dari PDB Kamboja, berhasil mencatatkan ekspor senilai US$ 12,8 miliar pada tahun 2023. Namun, konflik perbatasan dengan Thailand mulai memberikan dampak nyata bagi ekonomi domestik.
Kamboja telah melarang impor buah dari Thailand, dan sebagai balasan, menghadapi pembatasan pasokan listrik dan layanan internet dari negara tetangganya tersebut. Proyek-proyek besar seperti pembangunan Jembatan Persahabatan Kamboja-Korea senilai US$ 235 juta pun berisiko mengalami penundaan.
Meski saat ini Kamboja mencatat surplus optimisme, ketergantungan pada investasi asing tetap menjadi sumber kerentanan. Sektor-sektor strategis seperti manufaktur elektronik dan otomotif sebagian besar digerakkan oleh modal asing, yang cenderung sensitif terhadap ketegangan geopolitik.
Di sisi lain, sektor pariwisata Kamboja menargetkan kunjungan 7,5 juta wisatawan pada 2025, namun konflik dan kekhawatiran keamanan dapat menghambat pencapaian target tersebut.
Ekonomi Thailand jauh lebih besar dibandingkan dengan Kamboja. Produk Domestik Bruto (GDP) nominal Thailand pada 2024 diperkirakan mencapai sekitar US $526 miliar, sedangkan GDP Kamboja hanya sekitar US $46–47 miliar, artinya perekonomian Thailand hampir 11 kali lipat lebih besar.
Dari sisi GDP per kapita nominal, Thailand juga unggul dengan nilai sekitar US $7.500, sedangkan Kamboja hanya mencapai sekitar US $2.600, atau sekitar 2,9 kali lebih rendah. Dalam hal utang publik terhadap GDP pada 2023, Thailand memiliki rasio utang lebih tinggi, yaitu lebih dari 62% dari GDP, sementara Kamboja hanya sekitar 25–26%, yang menunjukkan beban fiskal Thailand relatif lebih besar.
Dari perspektif PDB per kapita berdasarkan paritas daya beli (PPP), Thailand mencatat sekitar US $8.600, sedangkan Kamboja hanya sekitar US $2.450–2.650, mengonfirmasi kesenjangan pendapatan yang signifikan antara kedua negara.
Sementara itu, jika dilihat dari berbagai indikator makroekonomi 2025, terlihat jelas bahwa Thailand dan Kamboja sedang menempuh jalur yang berbeda. Pertumbuhan PDB Thailand diperkirakan hanya berada di kisaran 1,3–1,8%, sementara Kamboja optimis dengan angka 6–6,3%.
Baca Juga : Jual-Beli Serangan Artileri dan F-16, Konflik Thailand-Kamboja Memanas
Keduanya sama-sama mencatat defisit neraca perdagangan, namun nilainya jauh berbeda, Thailand defisit US$ 1,88 miliar, sedangkan Kamboja defisit US$ 362,6 juta. Struktur ekonomi Thailand didominasi sektor manufaktur (34% PDB) dan jasa seperti pariwisata (44%), yang saat ini keduanya sedang tertekan.
Di sisi lain, Kamboja masih bertumpu pada sektor garmen dan pariwisata, yang justru menjadi motor pertumbuhan. Dalam hal kebijakan fiskal, stimulus Thailand justru turun drastis dari 140 miliar baht pada 2024 menjadi hanya 25 miliar baht tahun ini.
Sebaliknya, Kamboja mengalokasikan anggaran sebesar US$ 9,32 miliar pada 2025 dengan fokus pada pengembangan infrastruktur, serta menawarkan insentif pajak untuk sektor pariwisata dan sistem e-visa.
Konflik perbatasan secara langsung berdampak pada hubungan perdagangan dan investasi keduanya. Thailand kehilangan pasar ekspor buah-buahan ke Kamboja, sementara Kamboja menghadapi potensi krisis pasokan listrik.
Proyek besar seperti Eastern Economic Corridor (EEC) Thailand senilai US$ 1,5 triliun mengalami perlambatan, sedangkan pelabuhan Sihanoukville dan Bandara Techo Kamboja tetap menjadi prioritas pembangunan meski dalam situasi geopolitik yang tidak stabil.
Ke depan, Thailand menghadapi risiko pertumbuhan yang lebih rendah lagi apabila tarif ekspor dari Amerika Serikat benar-benar diberlakukan, yang dapat menurunkan pertumbuhan menjadi hanya 1,4%. Oleh karena itu, penyelesaian konflik politik internal dan negosiasi perdagangan akan menjadi kunci pemulihan ekonomi Thailand.
Sementara itu, Kamboja menaruh harapan pada keberhasilan proyek infrastruktur jangka panjang seperti Bandara Techo, yang dirancang menampung hingga 50 juta penumpang pada 2050. Meski demikian, ketergantungan tinggi pada investasi asing membuat Kamboja rentan terhadap gejolak eksternal.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Muhammad Imam Hatami pada 25 Jul 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 25 Jul 2025
Bagikan