Tolak RUU Penyiaran, Jurnalis di Bengkulu Bawa Keranda Mayat ke DPRD

Rabu, 29 Mei 2024 18:43 WIB

Penulis:Herlina

WhatsApp Image 2024-05-29 at 13.17.27_30f44268.jpg
Jurnalis di Bengkulu yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Bengkulu Bersatu menggelar aksi damai menyatakan penolakan terhadap RUU Penyiaran yang saat ini tengah digodok di DPR RI. (foto: istimewa)

BENGKULU, LyfeBengkulu.com - Puluhan jurnalis di Bengkulu yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Bengkulu Bersatu mengelar aksi unjuk rasa menolak Revisi UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002, tentang Penyiaran (versi Maret 2024), sebab berpotensi mengancam kebebasan pers, demokrasi dan HAM.  

Dalam demontrasi tersebut jurnalis menggelar aksi menutup mulut dengan lakban warna hitam di depan kantor Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bengkulu serta aksi jalan mundur dengan membawa keranda mayat bertuliskan "Mayat Kebebasan Pers" di depan gerbang Sekretariat Dewan Privinsi Bengkulu, Rabu (29/5/2024).

Tak hanya itu, jurnalis yang tergabung dalam AJI Bengkulu, IJTI Bengkulu, AMSI Bengkulu, FKW KAHMI Bengkulu serta Radio dan UKM Cinematografi Universtas Dehasen Bengkulu ini juga membubuhi tandatangan di atas spanduk banner polos, bertuliskan Koalisi Jurnalis Bengkulu Bersatu Tolak RUU Penyiaran.

Aksi tutup mulut menggunakan lakban hitam diartikan pembungkaman serta membatasi kerja-kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi secara umum. Sementara, aksi membawa keranda mayat sebagai tanda mati demokrasi serta jalan mundur menandakan mundurnya demokrasi di Indonesia.  

Selain itu, jurnalis dari berbagai platform ini juga membawa sejumlah poster dengan beragam tulisan penolakan RUU Penyiaran. Mulai dari Pers Bukan Kolom Iklan, Tolak RUU Penyiaran,  Pembungkaman Pers = Penghancuran Pilar Demokrasi, Hapus Pasal-Pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers serta tulisan penolakan lainnya.

Aksi yang mendapatkan pengawalan dari aparat kepolisian Polresta Bengkulu ini, massa juga berorasi serta meminta Komisioner KPID Bengkulu dan seluruh anggota DPRD Provinsi Bengkulu, untuk menandatangani surat penyataan penolakan RUU Penyiaran versi Maret 2024 serta bersurat ke KPI Pusat dan DPR RI.

Namun, surat pernyataan dari KPID Bengkulu dan selurih anggota DPRD Provinsi Bengkulu, menolak untuk menandatangani surat pernyataan penolakan RUU Penyiaran.

Ketua AJI Bengkulu, Yunike Karolina saat menyampaikan orasinya di depan anggota DPRD Provinsi Bengkulu. (foto: istimewa) 



Meski demikian, aksi penolakan RUU Penyiaran ini juga ditandai dengan seluruh jurnalis yang ikut tergabung dalam aksi menandatangani penolakan RUU Penyiaran di atas sehelai spanduk banner kosong.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu, Yunike Karolina mengatakan, penolakan RUU Penyiatan versi Maret 2024, bukan tanpa alasan. Sebab RUU ini dinilai memuat sejumlah pasal problematik yang dapat mengancam kebebasan pers, berekspresi, demokrasi dan HAM.  

Yunike menyebut, Pasal 50B ayat 2 huruf c yang mengatur pelarangan praktik jurnalisme investigasi. Sementara jurnalisme investigasi merupakan dasar dari jurnalisme profesional. Jika pasal ini disahkan, kata Yunike, maka publik hanya mendapat informasi seadanya dan tidak liputan mendalam serta kontrol sosial menjadi terbatas.

Hal tersebut, tegas Yunike, bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 4 ayat 2, pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Lalu, RUU Penyiaran pada Pasal 34 sampai 36. Kewenangan KPI untuk melakukan penyensoran dan pembreidelan konten di media sosial.

Hal ini tentu mengancam kebebasan konten kreator maupun lembaga penyiaran yang mengunggah konten di internet. Konten siaran di internet wajib patuh pada Standar Isi Siaran (SIS) yang jelas-jelas mengancam kebebasan pers dan melanggar prinsip-prinsip HAM.

Pasal problematik lainnya, sambung Yunike, Pasal 8 A ayat (1) huruf q, sengketa pers karya jurnalistik terutama penyiaran itu nantinya diselesaikan oleh KPI. Ini tentu bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang mana sengketa pers diselesaikan oleh Dewan Pers melalui hak jawab, koreksi dan lainnya.

Kemudian, Pasal 51 E, sengketa pers akibat putusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan. Selanjutnya, Pasal 50B ayat 2K, pembungkaman kebebasan berekspresi lewat ancaman kabar bohong dan pencemaran nama baik.

Di pasal itu, jelas Yunike, Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran, Pasal 14 dan Pasal 15 pada UU No 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat (1), tentang pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-uang Hukum Pidana pada 21 Maret 2024.

Pada draf RUU Penyiaran ini, lanjut Yunike, menghapus Pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran No 32/2002. Di mana pasal-pasal ini membatasi kepemilikan TV dan radio. Hilangnya pasal-pasal ini akan mempermulus penguasaan TV dan Radio pada konglomerasi tertentu saja.

''Hapus pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers, demokrasi dan HAM. Jangan bungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Tinjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran,'' kata Yunike, Rabu (29/5/2024).

Anggota Bidang Advokasj AJI Bengkulu, Romi Juniantra mengatakan, RUU Penyiaran secara nyata membatasi kerja-kerja jurnalistik maupun kebebasan berekspresi secara umum dan berniat untuk mengendalikan secara berlebihan (overcontrolling) terhadap ruang gerak jurnalis.

Hal itu tentu berdampak pada pelanggaran terhadap hak atas kemerdekaan pers, serta pelanggaran hak publik atas informasi.

"Pasal-pasal dalam RUU Penyiaran berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi" tegas Romi.

Untuk itu, terang Romi, Koalisi Jurnalis Bengkulu Bersatu meminta untuk KPI dan DPR RI meninjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran, menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi, dan mlibatkan Dewan Pers dan kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu yang beririsan.

"Pasal-pasal dalam RUU Penyiaran berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi" tegas Romi.