Minggu, 15 Mei 2022 21:13 WIB
Penulis:Herlina
Editor:Herlina
BENGKULU,LyfeBengkulu.com- Fact-Checking, pemeriksaan fakta bukan isu baru dalam perkembangan jurnalisme. Pada dasarnya, setiap proses jurnalisme membutuhkan pemeriksaan fakta. Sebab prinsip dasar jurnalisme sendiri adalah faktualitas dan verifikasi.
Namun memang, gerakan fact checking jauh lebih kompleks dan masif bergaung sejak berkembangnya jurnalisme digital. Karena itulah mengapa gerakan cek fakta, dalam perkembangannya akhirnya tidak menjadi aktivitas jurnalis saja. Namun juga menjadi semacam genre baru dalam jurnalisme. Ia melahirkan banyak medium pendukung dan aplikasi digital yang memfasilitasi pemeriksaan fakta secara komprehensif.
Sejauh ini secara global, kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu, Harry Siswoyo, saat ini ada lebih dari 114 organisasi pengecek fakta yang berdiri sejak tahun 2017 sebagai upaya menangani banjir informasi dan fenomena post truth.
“Beberapa diantara mereka seperti Poynter, Google News Intiative serta FaceBook. Ketiga ini yang paling getol mengkampanyekan pemeriksaan fakta dalam informasi digital. Serupa juga di Indonesia,” jelas Harry.
Jika dikelompokkan ada dua kategori yang bergerak dalam gerakan ini, pertama itu adalah organisasi medianya, seperti tirto, liputan 6, tempo, dan kompas. Mereka sudah terakreditasi oleh International Fact Checking Network (IFCN). Sedang kategori yang kedua yakni organisasi asosiasi, seperti cekfakta.com, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), AMSI, dan First Draft.
Di Bengkulu, AJI sejak tahun 2019 hingga 2020, sudah beberapa kali bersama GNI menggelar training serupa yang melibatkan jurnalis, kampus, dan ruang redaksi media.
''Dalam kacamata saya, sejauh ini harus diakui memang belum memunculkan sebuah kolaborasi bersama antara para jurnalis atau para media untuk membangun gerakan cek fakta,'' sampai Harry. Mudah-mudahan saja ke depan khususnya menjelang tahun politik nanti, semua bisa berkolaborasi. Dan tentunya tidak harus terkait itu. Tapi bisa dalam isu lain yang bersinggungan dengan informasi palsu, hoaks, disinformasi dan lainnya,'' sambung Harry.
Terakhir, di traning cek fakta untuk jurnalis, yang digelar secara online, selama 2 hari, sejak Sabtu - Minggu (14-15 Mei 2022), dengan The Google News Initiative Trainers Network powered by AJI, Phesi Ester Julikawati dan Demon Fajri, sampai Harry, semoga bisa memberi manfaat untuk teman-teman jurnalis. Sebab, meski kondisi saat ini secara umum Bengkulu belum terlihat secara masif ada sebaran informasi palsu. Namun fenomena ini, bukan tidak mungkin akan menggejala tanpa disadari.
''Siapa yang bisa membentengi itu, ya para jurnalis dan media yang hari ini ada di Bengkulu. Kepercayaan publik pada jurnalis dan media, mesti dikembalikan, bukan kepada mereka yang bekerja di belakang meja dan cuma menerima kiriman gambar kejadian lalu diposting, atau mereka yang piawai membuat narasi di berbagai platform, namun tanpa disiplin verifikasi atau juga pada mereka yang membuat bisnis jurnalisme namun menggadi ruh jurnalisme,'' tutup Harry. (rls)
Bagikan