Industri K-Pop Tak Seindah Panggung: The Boyz vs QWER Bongkar Sisi Abu-Abu
JAKARTA– Di ranah K-pop, lightstick memiliki makna lebih dari sekadar aksesori bercahaya—ia menjadi simbol identitas bagi para penggemar.
Belakangan, muncul perselisihan mengenai dua desain lightstick berbentuk megafon yang mirip satu sama lain. Hal ini memicu fanwar panas antara penggemar boy group The Boyz dan band pendatang baru QWER.
Perdebatan yang awalnya hanya terkait merchandise kini berkembang menjadi konflik serius, dengan adu argumen online yang berujung pada ancaman kekerasan serta desakan agar industri menetapkan standar lebih tegas.
- Baca Juga: Bos JYP Entertainment Duduki Posisi Setingkat Menteri, Positif atau Negatif untuk Industri K-Pop?
Dilansir dari The Korea Times, pada 25 September 2025, agensi The Boyz, One Hundred, akhirnya angkat bicara melalui pernyataan resmi, mengakui adanya “kebingungan dan ketidaknyamanan” yang dirasakan para penggemar.
Perusahaan mengatakan, pihaknya telah membahas persoalan tersebut dengan manajemen QWER dan meminta adanya perubahan desain, namun belum tercapai kesepakatan. Mereka juga menambahkan langkah hukum kini tengah dipertimbangkan.
Konflik ini pertama kali mencuat pada 16 September 2025, saat QWER meluncurkan lightstick resmi perdana mereka menjelang tur dunia debut.
Desainnya, megafon putih dengan logo grup di bagian speaker, langsung menuai perbandingan dengan lightstick The Boyz, berupa megafon putih berbentuk hati dengan gagang hitam, yang sudah dirilis sejak 2021.
Agensi QWER, Prism Filter, membantah tuduhan penjiplakan desain dengan alasan megafon adalah simbol universal yang tidak bisa dimonopoli oleh satu grup saja.

Mereka juga menyebut telah melakukan kajian hukum dan menemukan tidak ada pelanggaran hak cipta atau masalah hukum, serta menegaskan produk tersebut dikembangkan secara independen.
Meski menuai kontroversi, QWER tetap melanjutkan penjualan merchandise, yang kemudian memperuncing perseteruan kedua fandom hingga berubah menjadi permusuhan terbuka di dunia maya.
Penggemar The Boyz, yang mayoritas adalah perempuan melaporkan menjadi sasaran hinaan misoginis, pelecehan seksual, hingga ancaman doxxing dan pembuatan konten pornografi deepfake. Sementara itu, pendukung QWER mengklaim bahwa penggemar The Boyz menyebarkan unggahan berisi ancaman untuk “kill QWER.”
Ketegangan yang Terulang
Bagi pengamat luar, sulit dipahami bagaimana lightstick berbentuk megafon bisa memicu permusuhan sedemikian rupa. Namun, sengketa soal orisinalitas bukanlah hal baru di dunia K-pop, di mana fandom memiliki peran luar biasa besar dalam membentuk identitas idol.
Sejak era 1990-an, ketika grup generasi pertama seperti H.O.T. dan Sechskies merintis tradisi tersebut, identitas fandom dibangun dengan cermat melalui simbol eksklusif, mulai dari nama, warna resmi, hingga lightstick.
Adanya kemiripan dengan atribut milik grup lain kerap dianggap melanggar aturan tak tertulis dalam budaya K-pop.
Perselisihan semacam ini masih kerap terjadi hingga kini.
Pada April lalu, misalnya, grup pendatang baru ILLIT yang berada di bawah Belift Lab (anak perusahaan HYBE Labels) menuai kritik setelah menamai klub penggemarnya “LILLY,” yang mirip dengan nama anggota NMIXX, Lily.
Saat diubah menjadi “LILLYs,” mereka kembali tersandung masalah karena dinilai menyalahi fandom Lisa BLACKPINK, “Lilies.” Kontroversi baru mereda setelah nama tersebut diganti lagi menjadi “GLIT.”
Lightstick memiliki makna simbolis yang sangat kuat. Desain mahkota milik BigBang atau palu khas BLACKPINK sudah dikenal luas sebagai lambang penggemarnya.
Dalam kasus The Boyz, lightstick berbentuk megafon telah memperoleh status serupa, bahkan resmi didaftarkan sebagai kekayaan intelektual oleh Copan Global pada 2022.
Jika desain milik QWER terbukti melanggar hak tersebut, agensinya bisa terjerat hukum Korea, dengan ancaman hukuman hingga tujuh tahun penjara atau denda maksimal 100 juta won (sekitar US$72.000).
Seruan untuk Reformasi
Kontroversi ini juga menarik perhatian Korea Entertainment Producer’s Association, yang pada Senin lalu memperingatkan bahwa membiarkan perselisihan diselesaikan secara informal bisa mengganggu stabilitas industri.
“Asosiasi menekankan bahwa industri sangat membutuhkan perlindungan institusional untuk menjaga kekayaan intelektual dan orisinalitas karya,” bunyi pernyataan resmi mereka.
Organisasi itu juga menyerukan adanya pedoman standar guna memastikan bahwa aset kreatif bernilai milik agensi, artis, dan fandom tetap terlindungi.
Selain itu, asosiasi mendorong penerapan langkah pencegahan, termasuk sistem pra-registrasi dan peninjauan desain merchandise resmi, serta berjanji akan lebih aktif mengambil peran dalam mediasi dan arbitrase antaragensi.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 02 Oct 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 02 Okt 2025