Kisah Tom Lembong dan Strategi Penyelamatan BCA di Tengah Krismon

Redaksi Daerah - Rabu, 06 November 2024 17:01 WIB
Kiprah Tom Lembong dalam Menyelamatkan BCA dari Krisis Moneter

JAKARTA – Thomas Trikasih Lembong, atau Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan Indonesia (2015-2016), dikabarkan telah mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui kuasa hukumnya pada Selasa, 5 November 2024.

Langkah ini diambil sebagai respons atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada 29 Oktober 2024 dalam kasus dugaan korupsi impor gula. Tim kuasa hukumnya menilai bahwa penetapan tersangka tersebut tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Ia diduga memberikan izin impor 105.000 ton gula kristal mentah kepada PT AP tahun 2015 tanpa rapat koordinasi dan rekomendasi Kementerian Perindustrian, meskipun Indonesia saat itu surplus gula, yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp400 miliar.

Terlepas dari kasus yang dihadapinya, Tom Lembong memiliki rekam jejak yang signifikan di dunia bisnis. Salah satu pencapaiannya adalah menyelamatkan PT Bank Central Asia Tbk (BCA) melalui Farindo Investment, perusahaan yang ia dirikan.

Pria lulusan Harvard University ini memulai karier profesionalnya sebagai Kepala Divisi Asset Management Investment di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), di mana ia bertanggung jawab atas pengelolaan dan penjualan aset bank yang diselamatkan pemerintah pasca-krisis moneter 1998.

Pengalaman ini memberinya dasar yang kuat dalam menangani aset bermasalah, memulihkan investasi, dan merancang restrukturisasi keuangan. Setelah menyelesaikan tugasnya di BPPN, Lembong mendirikan Farindo Investment, sebuah joint venture antara Farallon Capital dari Amerika Serikat dan Grup Djarum, yang bergerak di bidang private equity.

Ia memainkan peran penting dalam menyusun strategi investasi dan memimpin negosiasi dengan BPPN. Pada tahun 2002, di bawah kepemimpinannya, Farindo Investment berhasil mengakuisisi 51% saham BBCA dari BPPN melalui private placement seharga Rp1.775 per saham, dengan total nilai transaksi Rp5,3 triliun.

Awalnya, Farallon Capital memiliki 90,64% saham Farindo, sementara Grup Djarum memegang 9,36%. Pada tahun 2006, kepemilikan Grup Djarum di Farindo meningkat menjadi 92,18%, memperkuat kendali mereka atas saham BCA.

Jadi Bank Terbesar

Transaksi tersebut memperkokoh posisi Farindo di sektor perbankan dan berkontribusi pada stabilitas serta pertumbuhan BCA, yang kini menjadi salah satu bank swasta terbesar di Indonesia.

Dengan demikian, Tom Lembong berperan sebagai arsitek utama transaksi ini, yang menjadi momen penting dalam privatisasi BCA, mengingat bank nomor satu ini sempat mengalami kesulitan likuiditas pada saat krisis moneter 1997-1998.

Tom Lembong sendiri lahir di Jakarta pada 4 Maret 1971, ia menamatkan pendidikan di Harvard University pada tahun 1994 dengan gelar Bachelor of Arts di bidang arsitektur dan perancangan kota.

Setelah lulus, Tom memulai kariernya di Morgan Stanley di Singapura, lalu bergabung dengan Deutsche Securities Indonesia. Antara 2000 hingga 2002, ia menjabat sebagai kepala divisi di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk membantu restrukturisasi sektor perbankan pasca-krisis Asia 1998.

Selain mendirikan Farindo, pada tahun 2006, Tom juga mendirikan Quvat Management, sebuah perusahaan ekuitas swasta berbasis di Singapura, di mana ia menjabat sebagai CEO. Ia juga sempat menjadi presiden komisaris PT Graha Layar Prima Tbk (BlitzMegaplex).

Adapun jabatan terakhirnya di pemerintahan adalah sebagai Kepala BKPM hingga 2019, sebelum kemudian bergabung dengan tim kampanye Anies Baswedan untuk Pemilihan Presiden 2024.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Alvin Pasza Bagaskara pada 05 Nov 2024

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 06 Nov 2024

Editor: Redaksi Daerah

RELATED NEWS