AJI Palembang Bahas Misinformasi Karhutla dan Perubahan Iklim

Herlina - Kamis, 14 April 2022 22:05 WIB
Webinar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang bersama Google News Initiative dengan tema "Menciduk Misinformasi Karhutla dan Perubahan Iklim". (tangkapan layar).

PALEMBANG,LyfeBengkulu.com- Untuk meningkatkan literasi jurnalis dan masyarakat dalam memahami isu karhutla dan perubahan iklim, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang bersama Google News Initiative menggelar webinar bertajuk “Menciduk Misinformasi Karhutla dan Perubahan Iklim", Kamis (14/04).

Ketua AJI Palembang Prawira Maulana mengatakan, banyak jurnalis salah mengartikan isu perubahan iklim dan memandang sebelah mana isu ini. Webinar ini, ujar Wira akan memberikan perspektif baru terhadap masyarakat, khususnya jurnalis, bahwa isu perubahan iklim nyata adanya.

“Setelah mulai sadar akan isu ini, nanti jurnalis harus mengembangkan bagaimana mengangkat isu perubahan iklim ini di dalam karya jurnalistik. Misal saat terjadi banjir atau karhutla, jangan hanya peristiwa banjir atau karhutlanya saja yang diangkat. Namun bagaimana karhutla dan banjir tersebut, merupakan sebab atau akibat dari perubahan iklim,” ujarnya.

Tiga narasumber yang menjadi pengampu dalam diskusi ini adalah Kepala Divisi Kampanye Walhi Sumsel Puspita Indah Sari, Pakar Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah Palembang Yenrizal, dan Anggota Majelis Etik AJI Palembang Ibrahim Arsyad, serta moderator Pemimpin Redaksi WongKito.co, Nila Ertina.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), lebih dari satu juta hektare lahan terbakar akibat karhutla di Sumsel periode 2015-2020. Karhutla menjadi biang keladi kabut asap, terparah terjadi pada 2015 dan 2019 di Sumsel, dan menyebabkan kelumpuhan ekonomi.

Dalam paparannya, Puspita Indah Sari mengatakan, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk menekan emisi karbon, seperti menekan laju deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan.

Deforestasi di Indonesia pun meningkat dari yang sebelumnya 1,1 juta ha/tahun (2009-2013) menjadi 1,47 juta ha/tahun (2013-2017). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi.

Total lahan Provinsi Sumatera Selatan yakni 9,159 juta hektare dengan jumlah penduduk 8,47 juta jiwa. Dari luasan lahan tersebut, 1,7 juta hektare dikuasai negara, 3,55 juta hektare dikuasai korporasi, dan 3,9 juta hektare dikuasai rakyat.

“Saat ini lahan di Sumsel sebagian besar sudah dikuasai korporasi. Dari total 3,55 juta hektare yang dikuasai korporasi itu, kebun kayu 1,5 hektare, 1,3 juta hektare perkebunan, dan pertambangan 675 ribu hektare. Industri ekstraktif sangat berdampak pada lingkungan,” ujar Pita.

Sementara itu, Pakar Komunikasi Lingkungan UIN Raden Fatah Palembang Yenrizal berujar, kecenderungan penyebab karhutla di Sumsel berasal dari dua pihak, yakni oknum masyarakat dan oknum perusahaan. Sejak 2015 pemerintah sudah menggugat secara perdata 17 perusahaan dengan denda dan ganti rugi Rp3,9 triliun akibat lahan yang terbakar, baik disengaja, maupun tidak disengaja dengan 75 kasus pidana karhutla yang ditangani aparat.

“Hanya saja transparansi proses penanganannya yang kurang. Selain itu juga konstruksi media tentang karhutla harus kita akui, pemberitaannya sangat insidentil. Banyak yang yang tidak terlalu memahami istilah karhutla dan tidak pernah datang ke lokasi kebakaran. Sehingga berita yang diproduksi tidak komprehensif,” kata dia. (**)

Editor: Herlina

RELATED NEWS