Alasan Pentingnya Penerapan Cukai untuk Minuman Berpemanis
JAKARTA - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan tengah melakukan kajian terkait skema penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), yang direncanakan mulai berlaku pada semester II tahun 2025.
Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar, Akbar Harfianto, menyampaikan bahwa pihaknya telah menyusun dua opsi skema pelaksanaan. Skema tersebut mencakup pengenaan cukai hanya di tingkat industri MBDK (on trade) atau juga mencakup gerai penjualan (off trade).
"Dari analisis kami, memang ada dua skema, yaitu on trade dan off trade. On trade itu di tingkat pabrik atau industri berupa kemasan, sedangkan off trade berarti di gerai-gerai tadi," ujar Akbar dalam acara Media Briefing di Jakarta beberapa hari lalu.
- Waspada! Ini 6 Cara Mendeteksi Anda Sedang Dilacak Menggunakan AirTag
- BRI Wujudkan Komitmen Anti Korupsi dengan Dukungan KPK
- 7 Alternatif Platform Nonton Film dan Drama Selain LK21 dan IDLIX yang Terjamin Keamanannya
Urgensi Pengenaan Cukai pada MBDK
Melansir data Kementerian Keuangan bagian Ditjen Perbendaharaan Prov Sultra, kebijakan pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan dinilai efektif menurunkan konsumsi masyarakat terhadap gula. Selain itu menekan biaya penanganan penyakit akibat konsumsi gula berlebih.
Penerapan kebijakan ini sebelumnya mengalami penundaan dikarenakan pertimbangan banyak faktor seperti pemulihan ekonomi nasional, kondisi kesehatan masyarakat, dan situasi ekonomi global.
Adapun sesuai dengan Undang-Undang nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
Pada hal ini, beberapa karakteristik barang yang dapat dikenakan cukai adalah barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup dan pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Menurut data penelitian Taipei Medical University dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, konsumsi gula masyarakat dalam jangka waktu 10 tahun (1992-2020) meningkat sebesar 40%, lebih tinggi 31% dari peningkatan konsumsi gula global yang hanya 9%.
Selain itu, terdapat peningkatan konsumsi masyarakat terhadap minuman berpemanis. Dilihat dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dapat disimpulkan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun (1996-2014), konsumsi masyarakat pada minuman berpemanis meningkat secara signifikan.
Data menyebutkan konsumsi minuman berpemanis pada 1996 yaitu 24 juta liter, sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi 405 juta liter. Hal ini menjadi perhatian pemerintah, karena peningkatan konsumsi minuman berpemanis berjalan positif dengan peningkatan penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, obesitas, dan penyakit kardiovaskular.
Efektivitas Penerapan Cukai MBDK
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda memperkirakan potensi penerimaan negara dari rencana kebijakan tarif cukai MBDK tidak sampai Rp7 triliun.
Huda melihat dampak pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis relatif kecil terhadap penerimaan negara, tetapi lebih kepada pengendalian konsumsi di sektor kesehatan.
Huda menilai sebaiknya pemerintah menggunakan perhitungan tarif ad valorem progresif dengan besaran tarif mengikuti kandungan gula yang terdapat dalam MBDK. Tarif ad valorem yaitu pajak yang didasarkan pada nilai suatu transaksi.
"Semakin tinggi tingkat kandungan gula maka semakin tinggi pula tarif yang diberikan kepada produsen MBDK," kata Huda kepada TrenAsia.com pada 13 Januari 2025
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Debrinata Rizky pada 14 Jan 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 14 Jan 2025