Analisis Standar Pendidikan di RUU Sisdiknas

Herlina - Rabu, 22 Juni 2022 14:17 WIB
ilustrasi

BENGKULU,LyfeBengkulu.com- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI telah mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang kemudian menjadi polemik di tengah masyarakat, terutama para akademisi dan pelaku pendidikan.

Bagaimana tidak? Beberapa pasal di dalam RUU tersebut dinilai mengandung ambiguitas yang memiliki banyak makna. Oleh karena itu, berbagai pihak pun lantas mencoba mengkaji kembali pasal demi pasal dalam RUU Sisdiknas. Adapun pasal yang disorot yakni pasal 87 dan 88. Dimana dalam pasal tersebut jelas tergambar standar pendidikan nasional mengerucut dari 8 standar menjadi 3 standar. Dengan kata lain Standar Nasional Pendidikan (SNP) diperkecil lewat RUU sisdiknas tahun 2022.

Pendidikan adalah suatu investasi modal manusia (human investment) yang jika dikelola dengan benar akan berdampak peningkatan kesejahteraan. Persoalan pendidikan di Indonesia sangat kompleks. Usaha mengatasi persoalan pendidikan yaitu ditetapkannya Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Berdasarkan PP Nomor 19/2005 tentang SNP meliputi: 1) Standar isi kurikulum, 2) Standar Proses, 3) Standar Kompetensi Lulusan, 4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 5) Standar Sarana dan Prasarana, 6) Standar Pengelolaan, 7) Standar Pembiayaan, dan 8) Standar Penilaian Pendidikan.

RUU Sisdiknas tahun 2022 Pasal 87 tantang Standar Nasional Pendidikan terdiri atas 3 standar yaitu standar input; standar proses; dan standar capaian. Standar nasional pendidikan dalam RUU Sisdiknas hanya akan berfokus pada sejumlah hal, yakni kriteria input, proses, dan capaian dalam penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Kriteria-kriteria tersebut tak dijelaskan dengan rinci dalam draf RUU Sisdiknas. Draf RUU Sisdiknas hanya lebih menerangkan terkait kriteria input.

Kriteria input dibagi atas tiga. Pertama raw material yang di dalamnya terdiri dari pelajar yang diterima oleh sekolah.Kriteria input yang kedua, instrumental input. Ini terdiri dari tujuan pendidikan, kriteria sarana dan prasarana, dan tenaga pendidik. Jadi, ini ingin menunjukkan mungkin tujuan pendidikan di satuan pendidikan ini berbeda-beda. Ketiga, enviromental input. Hal ini termasuk gedung dan lingkungan, serta kota atau desa dengan suasana pendiikan yang berbeda akan ada perbedaan standar input hingga proses di satuan pendidikan Indonesia.

Meskipun nantinya setiap sekolah memiliki standar berbeda, pemerintah tetap menentukan capaian pembelajaran yang ingin dituju. Pemerintah melihat ada sekolah-sekolah tertentu yang standar input dan prosesnya tidak selaras dengan apa yang ditetapkan pemerintah tapi diharapkan memiliki capaian belajar yang bagus, ini yang harus ditelaah lebih lanjut

Standar proses tidak dirinci dalam draf RUU sisdiknas. Proses pendidikan merupakan kunci berlangsungnya proses belajar, dimana program pendidikan dimplementasikan. Bryk dan Hermanson menjelaskan “inti dari persekolahan adalah peningkatan akademik serta proses yang secara instrumental terkait. di dalamnya.” (1993, p. 455). Proses pembelajaran yang belum lancar dan kurang baik di banyak sekolah kita, menyebabkan rendahnya mutu pendidikan, termasuk didalam pendidikan Ilmu Pengetahuan alam (IPA), dan mash rendahnya literasi sains siswa di sekolah.

Mutu proses pembelajaran sangat tergantung pada berbagai aspek, terutama fasilitas pendukung termasuk gedung, dan fasilitas peralatan, dan yang terutama adalah guru dan suasana pembelajaran. Efektivitas sekolah dipengaruhi oleh persoalan epistemologi dan ganjalan politik yang sering kurang serius mengarahkan kebijakan. Efektivitas dan efisiensi sekolah adalah cerminan dari tujuan-tujuan dan pencapaiannya (hasil belajar). Madaus et al.,(1980: in EEPA) menekankan bahwa variabel proses yang penting dalam pendidikan adalah suasana kelas dan lingkungan sekolah, standar fasilitas dan pengelolaannya, serta interaksi antar individu dan lingkungan.

Chapman and Aspin (1997), menggaris-bawahi masalah utama kualitas berhubungan dengan sistem nilai, kode etik, prilaku standar yang wajar dari peserta didik baik di sekolah dan dalam masyarakat luas perlu dilibatkan dalam kebijakan dan praktek penilaian. Selain faktor-faktor di atas, kenyataan pada banyak sekolah dimana proses pembelajaran dalam suasana kondusif tidak terwujud, oleh karena kelemahan guru yang mengajar dengan cara-cara lama serta kurang melibatkan peserta didik secara aktif. Juga karena kemampuan, kompetensi dan sikap guru yang kurang mendukung terciptanya proses pembelajaran yang bermutu.

Jadi, proses pendidikan sangat ditentukan oleh variabel-variabel atau indikator pendidikan lainnya seperti : daya dukung fasilitas, suasana atau iklim belajar yang kondusif, juga oleh faktor kompetensi dan sikap guru. Standar proses perlu mempertimbangkan bagaimana masalah tersebut dapat teratarasi yang tertuang dalam Sisdiknas dan ini belum terlihat.

Tidak ada rincian terhadap standar capaian pada RUU sisdiknas. Mutu pendidikan turut ditentukan dan diukur melalui kualitas lulusan yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tertentu, dan kualitas lembaga pendidikan sebaliknya dinilai pula dari kualitas lulusan yang dihasilkannya. Dari waktu ke waktu kompetensi lulusan menjadi persoalan, dan variabel pendidikan yang terkena imbas adalah sistem evaluasi institusi pendidikan.

Fenomena sistem evaluasi yang belum menjamin capaian lulusan nampak jelas dari kelulusan sekolah setiap tahun yang mendekati 100%. Drost, S. J., (2005 hal.:16) mengungkapkan “Kalau lulusan perguruan tinggi tidak bermutu, tidak mendapat pekerjaan, maka sesuai dengan kebutuhan, kita mencari kambing hitam: sistem PT jelek, kurikulum tidak sesuai kebutuhan, dosen tidak bermutu, dst. Tidak pernah ada yang mengaku dialah kambing hitam itu”.

Standar capaian terletak pada tujuan pendidikan yang dirumuskan dan konten kurikulum. Relevansi kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan lapangan kerja akan dapat menjamin mutu lulusan yang siap masuk dunia kerja, apabila didukung oleh proses pendidikan yang baik. Disini wawasan pengetahuan guru mengenali kompetensi yang diperlukan peserta didik, juga akan sangat membantu dalam proses penyiapannya. Sekolah yang berkualitas menyajikan kurikulum, aktivitas akademik yang merupakan hak mendasar siswa, yang dapat menjadi jaminan tercapainya kualitas pendidikan bermutu dan relevan dengan kebutuhan.

Permasalahan standar kurikulum dan relevansinya dalam membentuk kompetensi dalam sistem pendidikan kita terkait dengan sistem persekolahan yang ada: pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Kurikulum pendidikan umum berorientasi kepada kebutuhan peserta didik memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang bersifat universal diperlukan dalam mengembangkan intelektual, sistem nilai, dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan secara luas, dan terutama mempersiapkan siswa menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Sedangkan kurikulum pendidikan kejuruan lebih cenderung untuk mempersiapkan peserta didik untuk memasuki dunia pekerjaan setelah lulus dari jenjang program pendidikannya. Kurikulum sebagai alat dalam proses pembelajaran tidak dapat mempunyai basis (Drost, J. 2005, h.3), kurikulum sebenarnya bertujuan kompetensi, yang menghasilkan lulusan yang kompeten. Faktor lain yang sangat menentukan mutu lulusan adalah mutu masukan.

Standar capaian dalam sistem pendidikan kita umumnya masih rendah dan bervariasi antar daerah. Seleksi masuk perguruan tinggi maju yang diminati anak bangsa banyak yang belum atau tidak mengakomodir perbedaan yang ada terutama mereka yang berasal dari luar Jawa. Persiapan para siswa untuk masuk universitas hanya terjadi pada SMA yang unggul, yang ketika menerima siswa SLTP menyeleksi dan menerima hanya mereka yang unggul.

Hilangnya standar pembiayaan pada RUU sisdiknas. Kinerja pendidikan akan buruk jika tidak diimbangi dengan anggaran yang memadai. Kehidupan moderen masyarakat global, harus mengalami realitas bahwa “pendidikan itu mahal”. Para pemimpin negara ini sebenarnya menyadari bahwa anggaran pendidikan itu penting, mereka tahu bahwa masa depan bangsa sangat tergantung pada mutu pendidikan. Pembiayaan pendidikan dapat berupa biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal.

Beban Pemerintah untuk mengongkosi pendidikan anak bangsa menurut aturan UU sangat besar dan saat ini belum dapat terpenuhi. Dana program wajib belajar sembilan tahun (SD-SMP), yang untuk tahun 2005 dianggarkan Rp 11, 13 triliun, disalurkan ke sekolah-sekolah sebagai biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Penyaluran tidak membeda-bedakan negeri atau swasta atau sekolah marginal, dan yang sudah tergolong mapan.

Cara tersebut sebagai terjemahan daripada upaya pendidikan gratis dan dihitung dalam satuan unit cost per siswa, dan menutup pungutan biaya sekolah bagi kalangan tak mampu. Biaya tersebut digunakan untuk membiayai pendidikan bagi sekitar 39, 5 juta anak usia sekolah (7-15 tahun). UUD 1945 menjamin hak warga negara untuk memperoleh pendidikan dasar cuma-cuma. Hasil perhitungan menurut Mendiknas, setiap SD/MI rata-rata 43 juta setahun dan SMP rata-rata 183 juta rupiah per tahun, dan sangat tergantung pada persetujuan DPR. Kebijakan ini, oleh kalangan DPR perlu diluruskan untuk menghindari muncul persoalan dikemudian hari. (“antara azas keadilan dan pemerataan”?)

Sehingga dikatakan perlu redefinisi pendidikan gratis. Standar biaya pelayanan minimal harus terpenuhi (apa saja yang secara mendasar harus dibiayai pemerintah?) sebagai kewajiban pemerintah memenuhi tuntutan konstitusi. Pembiayaan pendidikan yang diusahakan pemerintah masih terbatas pada bantuan biaya investasi penyediaan sarana dan fasilitas serta peralatan pendidikan, serta biaya operasional penyelenggaraan pendidikan yang mendukung terselenggaranya proses pembelajaran yang baik dan berhasil. Satu faktor penting yang terlewati atau “dilupakan” atau “belum terjangkau” adalah biaya personal yang langsung dapat menjamin kesiapan peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas pembelajaran.

Kesiapan belajar siswa tergantung pada kesiapan fisik dan mental, kemudian pada kesiapan alat pendukung instruksional. Pembiayaan pendidikan ke depan perlu mempertimbangkan prioritas kebutuhan yang berbasis pada penciptaan kondisi kesiapan anak untuk belajar. Analisis standar pembiayaan pendidikan sewajarnya melibatkan ketiga macam pembiayaan pendidikan. Alokasi dana pendidikan pemerintah hendaknya memperhatikan kebutuhan standar minimal per peserta didik, di samping prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan.

Kebijakan dan kemampuan pemerintah dalam hal pembiayaan terbatas pada dukungan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan yang banyak terdapat “kebocoran”, gaji guru dan tenaga kependidikan yang belum memadai, mempengaruhi pencapaian mutu.(**)

*) Artikel ini ditulis secara berkelompok, dengan ketua Emilia Candrawati, Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan IPA UPI.

Editor: Herlina
Bagikan

RELATED NEWS