Fakta Mengejutkan! Praktik KKN di Tubuh KPK Terungkap
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selama ini dikenal sebagai garda terdepan dalam memerangi korupsi di Indonesia, nyatanya tidak luput dari krisis kepercayaan publik.
Secara ironis, sejumlah penyidik dan pimpinan KPK justru pernah terlibat dalam praktik korupsi, hal yang seharusnya mereka berantas. Berikut ini adalah berbagai skandal yang pernah mencoreng reputasi lembaga anti-korupsi tersebut, sebagaimana dihimpun dari berbagai sumber.
- Catat! 9 Produk Pangan Olahan Dinyatakan Mengandung Unsur Babi
- Waroeng Tani Sukses Lintas Generasi Berkat Pendanaan dari BRI
- Kini Disorot Isu Eksploitasi, Ini Sejarah Taman Safari Indonesia
Firli Bahuri Jadi Tersangka
Mantan Ketua KPK, Firli Bahuri, resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Penetapan ini diumumkan Polda Metro Jaya pada tanggal 22 November 2023, setelah dua kali Firli diperiksa sebagai saksi.
Dalam proses penyidikan, polisi telah memeriksa 91 saksi dan 7 ahli, serta menyita berbagai barang bukti mulai dari 21 ponsel, 17 akun email, hingga dokumen penukaran valuta asing senilai Rp7,4 miliar.
Firli dijerat dengan Pasal 12 huruf e, Pasal 11 atau Pasal 12B UU Tipikor jo Pasal 65 ayat 1 KUHP, dengan ancaman maksimal penjara seumur hidup.
Skandal Pungli Rutan Libatkan 90 Pegawai KPK
Tak berhenti di pucuk pimpinan, skandal pungutan liar (pungli) di rumah tahanan KPK juga mencoreng nama lembaga antirasuah itu. Sebanyak 90 pegawai KPK terbukti terlibat.
78 di antaranya dijatuhi sanksi berat berupa permintaan maaf secara terbuka, sementara 12 pegawai lainnya diserahkan ke Sekjen KPK karena pelanggaran terjadi sebelum pembentukan Dewan Pengawas.
Menurut Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, sanksi ini merupakan bentuk penegakan etik terhadap pelanggaran yang berupa penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat 2 huruf b Peraturan Dewas KPK No. 3 Tahun 2021.
Stepanus Robin dan Skema Suap Berjaringan
Salah satu kasus yang paling menyorot perhatian publik adalah keterlibatan eks penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju. Bersama advokat Maskur Husain, Robin terbukti menerima suap sebesar Rp11 miliar dan US$36.000 dari sejumlah pihak untuk pengurusan perkara di KPK.
Kasus pertama yang diungkap adalah suap dari Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial sebesar Rp1,695 miliar untuk menghentikan penyidikan kasus jual beli jabatan. Uang tersebut mengalir ke berbagai pihak, termasuk ke rekening atas nama Riefka Amalia, adik dari teman dekat Robin.
Suparman, Eks Penyidik yang Memeras Saksi
Kasus serupa juga menimpa AKP Suparman, mantan penyidik KPK yang akhirnya dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp200 juta oleh jaksa pada tahun 2006.
Suparman didakwa memeras seorang saksi bernama Tintin Surtini dalam kasus korupsi penjualan aset negara oleh PT Industri Sandang Nusantara (ISN), yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp70 miliar.
Suparman ditangkap KPK pada Maret 2006. Ia diketahui menerima uang Rp413 juta, US$ 300, serta barang-barang lain seperti tiga ponsel Nokia 9500, 24 tasbih, hingga mobil Atoz yang dibeli dengan harga tidak wajar.
- Harga Sembako di DKI Jakarta Kamis, 17 April 2025, Cabe Rawit Ijo Besar Naik, Beras Setra I/Premium Turun
- TOWR, MDKA, dan ISAT Nangkring di Top Gainers LQ45 Pagi Ini
- IHSG Dibuka Bertenaga, Menguat ke Level 6.410,16
Ronald Paul Sinyal dan Misteri Harun Masiku
Pemeriksaan terhadap Ronald Paul Sinyal, eks penyidik yang pernah tergabung dalam Satgasus Pencegahan Korupsi Polri, turut memperluas sorotan terhadap penyimpangan di internal KPK.
Ronald diperiksa KPK pada tanggal 8 Januari 2025 sebagai saksi dalam dua kasus besar yaitu suap PAW anggota DPR RI dan perintangan penyidikan buronan Harun Masiku.
Ronald pernah menangani kasus Harun Masiku sebelum diberhentikan lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di era Firli. Kini, KPK mendalami pengetahuannya tentang keberadaan Harun yang sudah lima tahun buron.
Skandal demi skandal yang menyeret penyidik hingga pimpinan KPK menjadi tamparan keras bagi citra lembaga antikorupsi. Fenomena ini tak hanya mengikis kepercayaan publik, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar, siapa yang mengawasi para pengawas?
Jika penyidik sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi justru ikut menjadi bagian dari jejaring praktik kotor, maka reformasi kelembagaan tak lagi cukup diperlukan pembenahan mendalam, pengawasan ketat, dan keberanian untuk menegakkan integritas tanpa pandang bulu, termasuk terhadap orang dalam sendiri.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 17 Apr 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 22 Apr 2025