Hanya 12% Perusahaan Hilir Terapkan Sistem Ketertelusuran: KOLTIVA Dorong Segregasi Inklusif Demi Lindungi Petani Kecil

Herlina - Senin, 21 Juli 2025 14:45 WIB
Dengan sistem yang inklusif, petani kecil tetap bisa bersaing di pasar global. (foto: istimewa)

JAKARTA, LyfeBengkulu.com- Menjelang diberlakukannya European Union Deforestation Regulation (EUDR) pada akhir tahun ini, urgensi sistem ketertelusuran dan segregasi fisik dalam rantai pasok agribisnis semakin meningkat. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa hanya 30% perusahaan hulu dan 12% perusahaan hilir yang telah menerapkan sistem pelacakan komoditas berbasis deforestasi. Ketidaksiapan ini menimbulkan risiko besar bagi perdagangan global, terutama akses ke pasar Uni Eropa yang kini menuntut ketertelusuran penuh dan kepatuhan terhadap prinsip bebas deforestasi.

Ancaman utama dari ketidakpatuhan terhadap EUDR terletak pada tercampurnya komoditas yang berasal dari lahan patuh dan tidak patuh. Regulasi ini mewajibkan pemisahan ketat sejak titik panen hingga titik ekspor. Kegagalan memisahkan produk dari lahan yang tidak diketahui status deforestasinya, atau dari kebun yang belum terverifikasi, akan berujung pada penolakan produk oleh Uni Eropa. Situasi ini memperparah kompleksitas rantai pasok, terutama yang melibatkan petani kecil dan banyak perantara tanpa dokumentasi yang memadai.

Dalam menghadapi tantangan ini, KOLTIVA—perusahaan AgriTech Swiss-Indonesia—menekankan pentingnya segregasi yang bukan hanya ketat secara fisik, tetapi juga inklusif secara sosial. Segregasi di sini bukan hanya soal kepatuhan, melainkan strategi untuk memastikan keberlanjutan dan keadilan dalam perdagangan komoditas global. Melalui teknologi KoltiTrace, KOLTIVA menyediakan sistem pelacakan spasial, survei risiko, dan verifikasi lapangan secara menyeluruh agar komoditas yang bebas deforestasi dapat ditelusuri secara real-time dari petani hingga eksportir.

Menurut Andre Mawardhi, Senior Manager Agriculture and Environment di KOLTIVA, tantangan segregasi dalam rantai pasok petani kecil tidak bisa dianggap enteng. Banyak perusahaan tergoda untuk menghentikan kerja sama dengan petani kecil demi menyederhanakan proses kepatuhan, padahal keputusan ini justru akan merugikan petani dan merusak ekosistem rantai pasok berkelanjutan. Kompleksitasnya terletak pada kenyataan bahwa satu petani bisa mengelola beberapa lahan dengan status kepatuhan berbeda. Tanpa pelatihan dan alat pendukung yang tepat, risiko pencampuran hasil panen akan tetap tinggi.

Salah satu petani karet di Kutai Barat, Kalimantan Timur, Rahman Sarwono, menyampaikan pengalamannya dalam menghadapi tantangan segregasi ini. Ia menyatakan bahwa sebagian kebunnya telah dipetakan oleh KOLTIVA, yang sangat membantunya dalam memahami batas-batas lahan. Menurutnya, jika ia dan komunitas petani diberikan pelatihan untuk memisahkan hasil panen dari kebun yang patuh dan tidak patuh, maka mereka akan memiliki peluang lebih besar untuk memenuhi regulasi. Ia menegaskan, “Sebagai petani, kami berkomitmen untuk patuh. Tapi kami juga butuh dukungan, pelatihan, dan edukasi agar bisa melaksanakan regulasi ini dengan benar.”

Menanggapi hal tersebut, KOLTIVA menerapkan pendekatan sistematis dalam mendampingi para pelaku rantai pasok. Mereka memulai dengan verifikasi dokumentasi dan legalitas lahan, memetakan titik koordinat dan status deforestasi, hingga memastikan bahwa standar lingkungan dan sosial dipatuhi. Penggunaan teknologi pelacakan digital seperti KoltiTrace memperkuat kredibilitas data dan memungkinkan perusahaan untuk menelusuri setiap langkah perjalanan produk. Di sisi infrastruktur, KOLTIVA mendorong penggunaan gudang terpisah, transportasi khusus, dan sistem pelabelan yang konsisten untuk mencegah pencampuran.

Langkah penting lain yang dilakukan adalah memberikan pelatihan lapangan secara langsung kepada petani, pengepul, dan pemasok. Ini dilakukan untuk memastikan pemahaman yang merata tentang praktik segregasi dan penerapan yang efektif. Pemantauan rutin juga dijalankan untuk menutup celah-celah implementasi yang bisa merugikan semua pihak, terutama petani kecil.

Indryani Bali, Project Leader sektor karet di KOLTIVA, menegaskan bahwa segregasi demi kepatuhan EUDR tidak boleh menjadi alasan untuk mengecualikan petani kecil. Karena itulah, KOLTIVA berfokus pada penguatan kapasitas lokal, baik melalui pelatihan teknis maupun dengan menyediakan data ketertelusuran secara real-time. Baginya, sistem yang dibangun harus bisa ditelusuri sekaligus inklusif, agar tujuan keberlanjutan benar-benar tercapai.

Dengan waktu yang semakin mendekati tenggat EUDR, perusahaan-perusahaan di sektor agribisnis didesak untuk menjadikan segregasi dan ketertelusuran sebagai prioritas utama. Kegagalan memenuhi dua komponen ini bukan hanya berarti ketidakpatuhan regulasi, tetapi juga berisiko kehilangan pasar, reputasi, dan kepercayaan dari konsumen global.

Bagi petani seperti Rahman, dukungan dari perusahaan dan pemerintah bukan sekadar tambahan, melainkan fondasi utama agar mereka bisa bertahan dan berkembang di tengah tekanan regulasi internasional. “Kami ingin menjaga hutan dan patuh pada standar EUDR,” kata Rahman. “Tapi tanpa arahan yang jelas, kesalahan kecil pun bisa membuat kami kehilangan segalanya. Dengan dukungan yang tepat, kami siap berkontribusi—karena masa depan kami, dan lingkungan, bergantung padanya.”

Bagikan

RELATED NEWS