Ketimpangan Dunia Kerja Digital: Cerita Pahit Pekerja Outsourcing Marketplace

Redaksi Daerah - Rabu, 07 Mei 2025 10:58 WIB
Menguak Ironi Pekerja Outsourcing di Marketplace, Berkantor Megah tapi Hidup Susah

JAKARTA -Saat malam tiba di salah satu pusat perbelanjaan di Solo, MAR justru memulai aktivitas kerjanya. Sementara itu, pada siang hari, SRS bersiap menjalankan rutinitasnya di salah satu kantor marketplace di Kota Bengawan.

Saat diwawancarai oleh TrenAsia, MAR dan SRS meminta agar identitas mereka dirahasiakan demi menjaga keamanan pekerjaan. Keduanya bekerja di bawah naungan perusahaan induk yang sama, namun direkrut melalui pihak ketiga sebagai tenaga kerja outsourcing.

Status ini membuat posisi mereka menjadi rawan, tanpa perlindungan hukum yang memadai ataupun jaminan sosial yang layak. Di balik kemilau lampu pusat perbelanjaan dan megahnya gedung kantor digital, tersimpan kisah nyata para pekerja kontrak yang harus menjalani hari-harinya tanpa kepastian akan masa depan.

Mereka adalah roda penggerak tak terlihat dari kenyamanan yang dinikmati publik, tapi kerap luput dari perhatian dan apresiasi. Dalam bayang-bayang ketidakpastian kontrak kerja yang bisa diputus sewaktu-waktu, mereka terus bekerja dengan dedikasi, berharap suatu hari nasib mereka bisa berubah.

“Yang paling berat itu soal ketidakpastian, kontrak saya bisa tak dilanjut kapan saja. Gaji stagnan, tunjangan minim,” kata SRS kepada TrenAsia saat ditemui di Solo, Selasa, 6 Maret 2025.

Selama dua tahun bekerja, SRS belum merasakan peningkatan berarti. Tak hanya penghasilan yang stagnan, akses ke fasilitas kerja pun terbatas.

SRS menjalani kerja malam hampir setiap hari. MAR mengeluhkan sistem kerja tiga shift yang diterapkan perusahaannya. Ia merasa tidak punya ruang berkembang karena semua posisi strategis sudah diisi karyawan tetap.

“Capainya bukan main. Begadang tiap dapat shift malam, lalu pagi bantu keluarga di rumah. Kadang cuma tidur ala kadarnya,” ujar SRS.

Meski demikian, SRS maupun MAR tetap bertahan. Bagi MAR, alasan ekonomi menjadi penentu utama. Ia menilai pekerjaan saat ini, meskipun berstatus outsourcing, tetap memberikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Di tengah keterbatasan lapangan kerja formal dan persaingan yang ketat, MAR memilih bertahan demi stabilitas finansial. Ia juga mengaku belum memiliki keahlian khusus yang dapat membawanya ke jenjang pekerjaan yang lebih baik.

Selama masih ada penghasilan yang masuk dan tanggungan keluarga bisa terpenuhi, ia bersikukuh menjalani profesinya meskipun dengan segala keterbatasan dan ketidakpastian status kerja.

“Kalau keluar dari sini, belum tentu langsung dapat kerja lagi. Kebutuhan banyak, ini satu-satunya penghasilan tetap yang saya punya,” tambah MAR.

Kisah mereka bukan satu-satunya. Ribuan pekerja outsourcing di berbagai kota mengalami hal serupa: bekerja tanpa kepastian jenjang karier, minim perlindungan, dan bayang-bayang PHK sewaktu-waktu. Mereka pun menyuarakan harapan agar pemerintah serius menangani isu ini.

“Kalau kami bisa kerja langsung di perusahaan dan dapat hak lebih layak, tentu saya setuju,” kata SRS soal rencana penghapusan sistem outsourcing. Namun, ia tetap mengingatkan pemerintah agar berhati-hati mengambil keputusan penghapusan sistem outsourcing.

Menurutnya, jangan sampai ia dan pekerja lain malah diberhentikan karena perusahaan enggan ambil risiko. “Wacana penghapusan outsourcing harus diiringi kebijakan transisi yang jelas,” harapnya.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 07 May 2025

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 07 Mei 2025

Editor: Redaksi Daerah

RELATED NEWS