Konser Musik Tak Lagi Aman dari Ancaman Krisis Iklim, Apa Solusinya?
JAKARTA - Menghadiri konser musisi idola, bernyanyi dan menari bersama orang-orang yang menyukai musisi yang sama tentu jadi momen yang sangat spesial bagi fans.
Sekilas, tur dan konser tampak seperti situasi saling menguntungkan, seperti artis mendapatkan pemasukan, dan penggemar menikmati momen yang berkesan. Namun, krisis iklim juga mulai mengganggu kenyamanan dalam menikmati konser musik.
Oasis mengeluarkan peringatan keras kepada para penggemar terkait cuaca panas ekstrem menjelang konser reuni Live ‘25 yang digelar di Manchester pada Jumat, 11 Juli-Sabtu, 12 Juli 2025.
- Beli iPhone 16 Sekarang atau Tunggu iPhone 17? Ini Perbandingan Spesifikasi, dan Harganya
- Murah Tapi Bikin Stres, Cerita Pembeli Rumah Subsidi Cicilan Rp1 Jutaan
- 5 Taman Kota di Jakarta yang Cocok untuk Healing Gratis
Dilansir dari Yahoo! News, Liam dan Noel Gallagher dijadwalkan tampil di hadapan sekitar 80.000 penonton di Heaton Park di tengah suhu tinggi yang diperkirakan mencapai 30°C.
Melalui unggahan di Instagram, band Wonderwall itu mengimbau para penonton dari kampung halaman mereka untuk bersiap menghadapi terik matahari dan cuaca panas ekstrem.
Unggahan tersebut dibuka dengan kalimat, “Peringatan cuaca ekstrem untuk Jumat dan Sabtu – Heaton Park.”
“Mohon bersiap menghadapi terik matahari dan panas ekstrem. Gunakan tabir surya, pastikan tetap terhidrasi selama konser maupun dalam perjalanan. Kenakan topi (bucket hat) untuk melindungi diri dari panas.”
“Sebisa mungkin, tetaplah berada di tempat yang teduh. Jaga diri dan saling menjaga satu sama lain.”
Baru-baru ini konser G-Dragon di Bangkok juga ditunda. Agensi G-Dragon, Galaxy Corporation, mengumumkan pada Jumat, 11 Juli 2025, keputusan untuk menunda konser tur dunia sang penyanyi di Bangkok disebabkan oleh gelombang panas ekstrem di Thailand serta kekhawatiran terhadap keselamatan para penggemar.
Pengumuman ini disampaikan sehari setelah konser tersebut awalnya dibatalkan tanpa penjelasan jelas, hanya disebutkan karena “situasi tak terduga,” yang kemudian memicu protes dari para penggemar.
Dalam pernyataannya, pihak agensi menegaskan konser Ubermensch World Tour yang semula dijadwalkan berlangsung pada 2 Agustus di Stadion Nasional Rajamangala, sebuah venue terbuka di Bangkok, bukan dibatalkan, melainkan ditunda.
“Kami menyesal menginformasikan bahwa konser G-Dragon dalam tur ‘Ubermensch’ di Bangkok yang awalnya dijadwalkan pada 2 Agustus harus ditunda karena keadaan tak terduga,” kata Galaxy Corporation, dilansir dari The Korea Herald.
“Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan gelombang panas luar biasa yang melanda kawasan tersebut dan telah menyebabkan banyak kasus heatstroke. Mengingat konser akan digelar di ruang terbuka, kami mengutamakan kesehatan dan keselamatan para penggemar.”
Sementara, dilansir dari Fox5, akhir Juni 2025, konser boy group asal Korea Selatan Stray Kids di Washington D.C. terpaksa dihentikan lebih awal karena gelombang panas yang ekstrem demi menjaga keselamatan para artis, kru, dan penonton. Sejumlah penonton dilaporkan pingsan, bahkan sebelum pertunjukan dimulai.
Situasi seperti ini bisa menjadi gambaran konser musik di masa mendatang, terutama untuk acara yang digelar di ruang terbuka yang minim penghalang sinar matahari.
Mengapa kita bisa sampai di titik ini?
Dilansir dari science.nasa.gov, perubahan iklim yang terjadi di Bumi kini memengaruhi meningkatnya kejadian cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia.
Gelombang panas yang memecahkan rekor, baik di daratan maupun lautan, hujan deras, banjir parah, kekeringan berkepanjangan, kebakaran hutan ekstrem, hingga banjir besar saat badai, kini terjadi lebih sering dan dengan intensitas yang lebih tinggi.
Sejak Revolusi Industri, aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil telah menyebabkan peningkatan signifikan gas rumah kaca di atmosfer. Gas seperti karbon dioksida, metana, dan lainnya bertindak seperti selimut yang menahan panas, sehingga memanaskan suhu planet.
Akibatnya, suhu udara dan laut meningkat, yang berdampak pada terganggunya siklus air, perubahan pola cuaca, dan mencairnya es di daratan, semua hal ini memperburuk kondisi cuaca ekstrem.
Berdasarkan Laporan Penilaian Keenam yang dirilis oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) pada 2021, peningkatan gas rumah kaca akibat ulah manusia telah memperbesar frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem.
Menurut laporan NASA 2022, gelombang panas ekstrem akan terjadi lebih sering dan dengan intensitas yang lebih tinggi seiring dengan terus naiknya suhu bumi.
Dilansir dari Greenpeace, tren suhu bumi terus meningkat, dengan tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah. Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara dan gas alam menghasilkan emisi gas rumah kaca yang merangkap panas di dalam bumi. Aktivitas ini memperburuk krisis iklim dan dampak yang kita rasakan.
Upaya kebijakan untuk mengatasi krisis iklim seharusnya mulai difokuskan pada percepatan transisi energi menuju sumber terbarukan guna menekan dampak yang ditimbulkan. Di sisi lain, aktivitas seperti menonton konser di ruang terbuka kini tampaknya berpotensi menjadi kegiatan ekstrem bagi para penikmatnya.
Krisis Iklim Bisa Menyebabkan Festival Musik di Australia Lenyap
Festival musik kini menghadapi ancaman serius dan bisa lenyap jika tidak mampu menyesuaikan diri dengan krisis iklim.
Laporan dari Universitas RMIT mengungkapkan, meski naiknya biaya asuransi dan produksi, gangguan rantai pasok, pembatalan massal, serta perubahan pola belanja konsumen turut memengaruhi kemerosotan industri musik live, faktor cuaca ekstrem dan tak terduga justru menjadi akar dari berbagai persoalan tersebut.
Laporan berjudul Rain, Heat, Repeat: How Music Fans are Experiencing Extreme Weather. Survei dalam laporan ini dilakukan oleh Green Music Australia dan dianalisis oleh para akademisi dari Universitas RMIT dan La Trobe.
Seorang sosiolog sekaligus dosen di RMIT Catherine Strong mengatakan, perubahan iklim bukan lagi sekadar ancaman masa depan bagi dunia musik live, dampaknya kini telah nyata, mengubah perilaku penonton dan struktur ekonomi industri ini secara signifikan.
Dilansir dari The Guardian, bulan lalu, sebanyak 26 konser musik dibatalkan karena wilayah pesisir timur laut Australia tengah bersiap menghadapi Siklon Alfred.
Sebanyak 1.155 orang berusia antara 18 hingga 60 tahun yang menghadiri konser musik dan festival di Victoria, New South Wales, Queensland, dan Tasmania diwawancarai dalam penelitian ini. Hampir sepertiga dari responden menyatakan mereka kini selalu memeriksa prakiraan cuaca sebelum memutuskan membeli tiket untuk acara musik live.
Lebih dari sepertiga (34%) mengatakan cuaca ekstrem membuat mereka lebih berhati-hati dalam membeli tiket, dan angka ini meningkat menjadi 44% di kalangan penonton setia konser musik.
Satu dari tiga responden mengaku akan menghindari menghadiri festival musik jika suhu diperkirakan mencapai 35°C, dan hampir satu dari lima orang kini membeli asuransi tiket untuk mengantisipasi pembatalan acara akibat cuaca ekstrem.
Strong menjelaskan, temuan ini memberikan gambaran mengapa perilaku konsumen berubah secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kini, banyak penonton konser menunda pembelian tiket lebih lama, yang pada akhirnya menyebabkan beberapa festival musik besar di Australia terpaksa dibatalkan karena penjualan tiket awal yang tidak mencukupi.
Saat ini, orang-orang mulai semakin berhati-hati terhadap kondisi cuaca, hingga mereka menunda pembelian tiket konser sampai waktu yang memungkinkan untuk benar-benar memantau prakiraan cuaca.
Hal ini berdampak langsung pada penyelenggara festival yang kesulitan menilai apakah acara mereka layak untuk dijalankan atau tidak dan bagi banyak pihak, situasi ini sulit untuk dihadapi. Pembatalan mendadak membuat penyelenggara harus membayar biaya pembatalan lebih besar kepada artis dan meningkatkan beban biaya asuransi secara signifikan.
Laporan tersebut mengungkap bahwa 85% penonton festival mengalami dampak dari banjir, badai, gelombang panas, atau ancaman kebakaran hutan saat menghadiri acara dalam 12 bulan terakhir.
Laporan itu juga memperingatkan kondisi ini mendorong konsumen beralih ke pilihan yang dianggap lebih “aman” seperti hanya membeli tiket konser besar yang diadakan di arena atau stadion tertutup.
Tempat seperti ini dapat dengan mudah dipenuhi oleh artis internasional seperti Taylor Swift dan Lady Gaga dalam hitungan jam setelah tiket dirilis, sesuatu yang sulit dicapai oleh musisi lokal.
“Tren ini jelas mengancam keberlanjutan karier musisi Australia untuk bertahan hidup dari profesi mereka,” ujar Strong.
“Salah satu peran penting festival musik adalah memberikan ruang bagi musisi lokal pendatang baru untuk tampil di hadapan audiens yang mungkin tidak akan mereka jangkau jika tidak lewat festival. Festival sering menjadi batu loncatan penting dalam perjalanan karier seorang musisi,” ujar seorang narasumber.
Peppa Lane, pemain bass dari band indie rock Spacey Jane, merasakan langsung dampak cuaca ekstrem terhadap dunia pertunjukan musik, baik secara profesional maupun pribadi.
Dalam festival musik Rolling Sets 2023 di Central Coast, NSW, penampilan Spacey Jane dibatalkan karena badai petir.
“Sepanjang hari, penampilan artis dibatalkan satu per satu, lalu cuaca membaik dan festival kembali dilanjutkan. Begitu terus sepanjang hari, kami akhirnya hanya sempat membawakan tiga lagu dari total satu jam yang dijadwalkan untuk kami.”
Setahun sebelumnya, ia juga menghadiri acara yang ia sebut sebagai “Splendour in the Mud,” merujuk pada festival Splendour in the Grass 2022 di utara NSW, yang membuat puluhan ribu penonton terjebak lumpur, kesulitan keluar, dan mengalami kerugian finansial akibat hujan deras.
“Kami sampai terendam lumpur hingga lutut,” ujarnya. “Awalnya terasa menyenangkan, tapi kalau kamu berkemah, tenda tersapu air, semua barang basah kuyup dan kamu tidak bisa kering selama tiga hari, ya itu bukan lagi hal yang menyenangkan.”
- Tanpa Roda, China Pamer Kereta Melayang 650 Km/ Jam!
- Makin Kinclong, Harga Emas Menguat jadi Segini
- Riset Mengejutkan: Asisten AI Coding Justru Perlambat Programmer Berpengalaman
Laporan tersebut menyimpulkan bahwa industri festival musik perlu segera melakukan berbagai penyesuaian, seperti membangun lokasi festival yang tahan terhadap cuaca ekstrem, menyediakan area perlindungan panas, panggung yang tahan banjir, dan stasiun isi ulang air yang mudah diakses.
Selain itu, komunikasi yang lebih baik terkait rencana keamanan cuaca dan kebijakan pembatalan juga sangat dibutuhkan. Namun, semua upaya ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dan kerja sama yang lebih kuat dari pemerintah pusat dan daerah.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 14 Jul 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 17 Jul 2025