Laporan Hukuman Mati 2021: Vonis Mati di Indonesia Terus Dipertahankan Tanpa Alasan

Herlina - Selasa, 24 Mei 2022 21:18 WIB
ilustrasi

JAKARTA,LyfeBengkulu.com- Jumlah vonis hukuman mati yang dijatuhkan Indonesia kembali berada pada level tinggi di tahun kedua pandemi COVID-19, menurut laporan tahunan hukuman mati Amnesty International yang dirilis hari ini.

“Alih-alih membenahi sistem penegakkan hukum dan peradilan yang masih jauh dari adil, pihak berwenang di Indonesia malah bersikeras mempertahankan hukuman mati dan menggunakan ancaman hukuman mati sebagai retorika politis demi mendapatkan dukungan sesaat,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. “Padahal data telah menunjukkan bahwa hukuman yang kejam dan tidak manusiawi tersebut tidak menurunkan angka kriminalitas ataupun memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan.”

Menurut data yang dihimpun oleh Amnesty International, ada setidaknya 114 vonis hukuman mati baru yang dijatuhkan di Indonesia pada tahun 2021, tidak jauh berbeda dengan 117 vonis hukuman mati yang dijatuhkan pada tahun 2020, dan jumlah vonis mati tertinggi kedua dalam lima tahun terakhir. Sebanyak 94 atau 82% di antara vonis mati tersebut dijatuhkan untuk kejahatan narkotika, 14 untuk pembunuhan, dan enam untuk terorisme.

“Banyaknya penggunaan hukuman mati untuk kejahatan narkotika bertolak belakang dengan hukum internasional, yang hanya memperbolehkan hukuman mati untuk kejahatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia,” kata Usman. “Penggunaan hukuman mati ini juga tidak memberi manfaat berarti bagi jutaan orang yang kecanduan narkotika.”

Menurut penuturan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Pol. Petrus Reinhard Golose pada Februari 2022, prevalensi pengguna narkotika di Indonesia pada tahun 2021 justru mengalami peningkatan dari tahun 2019, naik menjadi 3,66 juta dari 3,41 juta. Hal ini menunjukan bahwa asumsi menimbulkan efek jera, setidaknya untuk kasus narkotika menjadi tidak terbukti.

Jumlah vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia pada 2021 juga menjadi salah satu yang terbanyak di kawasan Asia Pasifik. Padahal, di saat yang sama, semakin banyak negara, termasuk negara-negara tetangga, telah mengambil langkah-langkah untuk menghapus penggunaan hukuman mati.

Pada 2021 pemerintah Papua Nugini memulai konsultasi nasional tentang hukuman mati dan menyepakatiRUU terkait penghapusan hukuman mati pada bulan Januari 2022, meskipun kini belum resmi berlaku. Pada akhir tahun, pemerintah Malaysia mengumumkan bahwa mereka akan mengajukan reformasi legislatif tentang hukuman mati pada kuartal ketiga tahun 2022. Malaysia juga terus menjalankan moratorium resmi terhadap eksekusi mati.

Di Sierra Leone, sebuah undang-undang yang menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan diadopsi dengan suara bulat oleh parlemen pada bulan Juli, meskipun saat ini belum berlaku. Pada bulan Desember, Kazakhstan mengadopsi undang-undang untuk menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan, yang mulai berlaku pada Januari 2022. Selain itu, di Republik Afrika Tengah dan Ghana, anggota parlemen memulai proses legislatif untuk menghapus hukuman mati, yang masih terus berlangsung.

Di Amerika Serikat, Virginia menjadi negara bagian abolisionis ke-23 dan negara bagian Selatan pertama yang menghapus hukuman mati. Untuk tahun ketiga berturut-turut, Ohio menjadwal ulang atau menghentikan semua eksekusi yang ditetapkan. Pemerintah AS yang baru juga menetapkan moratorium sementara atas eksekusi federal pada bulan Juli. Tahun 2021 menandai jumlah eksekusi terendah di AS sejak 1988. Sedangkan Gambia, Kazakhstan, Federasi Rusia dan Tajikistan juga terus menjalankan moratorium resmi atas eksekusi.

“Negara-negara yang menggunakan hukuman mati terus berkurang. Jangan sampai Indonesia berada di sisi yang salah dalam sejarah dan dikenang sebagai salah satu negara terakhir yang terus mempertahankan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat ini, meskipun telah jelas tidak ada manfaatnya,” kata Usman.

Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT). Karena itu, Indonesia wajib untuk menghormati dan melindungi hak manusia untuk hidup dan juga untuk tidak disiksa atau diberikan perlakuan dan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Dalam hal ini, hukuman mati dapat melanggar hak-hak tersebut.

Dalam hukum nasional, hak untuk hidup dan untuk tidak disiksa juga dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia serta Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pelaku kejahatan tetap harus dihukum

Amnesty International dengan tegas menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali – terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, ataupun metode eksekusi yang digunakan.

Meski demikian, Amnesty International tidak menolak penghukuman terhadap pelaku tindak kejahatan. Apa pun jenis kejahatannya, apa pun latar belakang identitas pelakunya, bentuk hukuman kepada mereka harus bebas dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat manusia.

“Menentang hukuman mati untuk jenis kejahatan yang berat bukan berarti kami tidak setuju bahwa mereka harus dihukum. Namun jika melihat tujuan dari hukuman itu sendiri, yang selama ini menimbulkan efek jera adalah kepastian adanya hukuman, bukan tingkat kekejaman hukumannya. Jadi, yang seharusnya dilakukan adalah membenahi sistem hukum yang masih melanggengkan impunitas, bukan semakin menambah tingkat kekejaman hukuman,” kata Usman.

Sebagai bagian dari Dewan HAM PBB, Indonesia harus serius dalam melaksanakan dan menunjukan komitmennya terhadap konvensi maupun kovenan tersebut. Indonesia juga harus menunjukan komitmennya terhadap hak asasi manusia dengan bergabung dengan setidaknya 144 negara lainnya yang telah menghapus hukuman mati, baik dalam peraturan perundang-undangan dan juga dalam praktiknya. (**)

Editor: Herlina

RELATED NEWS