Mengulas Supersemar: Makna dan Implikasinya bagi Sejarah Indonesia
JAKARTA – Supersemar, atau Surat Perintah Sebelas Maret, adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966.
Surat ini berisi instruksi kepada Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), untuk mengambil tindakan yang diperlukan guna mengendalikan situasi keamanan yang semakin memburuk.
Menurut laman fahum.umsu.ac.id, mandat kekuasaan tersebut diberikan di tengah ketegangan politik yang dipicu oleh peristiwa G30S/PKI pada 1 Oktober 1965. Krisis yang terus memburuk mencapai puncaknya pada 11 Maret 1966, dengan lonjakan inflasi yang melebihi 600%.
- BRI Dukung Regulasi DHE SDA Baru untuk Optimalisasi Devisa dan Stabilitas Ekonomi
- BRI Gelar Mudik Gratis 2025, Ribuan Warga Bisa Pulang Kampung Tanpa Biaya
- BRI Group Salurkan 100.000 Paket Sembako untuk Perkuat Ketahanan Sosial Warga di Ramadan
Supersemar menjadi titik awal bagi Soeharto untuk naik ke tampuk kekuasaan sebagai presiden, menggantikan tatanan Orde Lama yang dirancang oleh Soekarno, dan berujung pada pengasingan Soekarno.
Menurut Buku Sejarah Surat Perintah 11 Maret 1996 oleh Kemendikbud RI, Supersemar dikeluarkan setelah terjadinya pemberontakan G30S/PKI. Peristiwa tersebut memicu tuntutan dari masyarakat agar PKI dibubarkan.
Namun, Presiden Soekarno menegaskan tidak akan membubarkan PKI. Bahkan, dalam pertemuan dengan perwakilan partai politik, Soekarno mengancam akan membubarkan partai dan organisasi masyarakat (ormas) yang menuntut pembubaran PKI.
Di tengah ketidakstabilan politik, krisis ekonomi semakin memburuk akibat inflasi yang tinggi dan lonjakan harga barang. Ketidakpuasan masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa dan pelajar, memuncak dalam aksi unjuk rasa pada 10 Januari 1966.
Dalam aksi tersebut, mereka menyampaikan tiga tuntutan utama yang dikenal sebagai Tri Tuntutan, yaitu pembubaran PKI, penurunan harga, dan perombakan Kabinet Dwikora.

Menanggapi berbagai permasalahan setelah pemberontakan G30S/PKI, Soekarno dan Soeharto mulai berdialog sejak 2 Oktober 1965. Namun, keduanya memiliki pandangan berbeda dalam menyikapi peristiwa tersebut.
Soekarno menganggap pemberontakan yang melibatkan PKI sebagai persoalan kecil atau sekadar “riak kecil samudra.” Sementara, Soeharto melihatnya sebagai ancaman serius terhadap Pancasila.
Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Soeharto mengusulkan pembubaran PKI. Ia juga meminta Presiden Soekarno menerbitkan surat perintah guna meredakan konflik serta memulihkan situasi dan ketertiban.
Pada 11 Maret 1966, Presiden Soekarno menyetujui usulan tersebut dan menandatangani surat perintah yang memberi wewenang kepada Soeharto untuk mengambil tindakan atas nama Presiden. Surat tersebut kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar.
Isi Supersemar
1. Mengambil segala tindakan yang diperlukan guna menjamin keamanan, ketertiban, serta stabilitas pemerintahan dan jalannya Revolusi. Selain itu, memastikan keselamatan serta kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi keutuhan dan melaksanakan dengan pasti ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Melaksanakan koordinasi pelaksanakan dengan Panglima dari angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.
Dilansir dari kubutambahan.bulelengkab.go.id, Surat Perintah Sebelas Maret yang beredar merupakan versi yang dikeluarkan oleh Markas Besar Angkatan Darat (AD) dan tercatat dalam berbagai buku sejarah.
Beberapa sejarawan Indonesia berpendapat terdapat beberapa versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Berdasarkan versi resmi, Supersemar dikeluarkan pada 11 Maret 1966 saat Presiden Soekarno menggelar sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, yang dikenal sebagai “kabinet 100 menteri.”
Ketika sidang dimulai, Brigadir Jenderal Sabur sebagai Panglima Pasukan Pengawal Presiden Tjakrabirawa, melaporkan adanya sejumlah “pasukan liar” atau “pasukan tak dikenal.”
Kemudian diketahui bahwa pasukan tersebut merupakan Pasukan Kostrad yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Kemal Idris, dengan tugas menahan anggota kabinet yang diduga terlibat dalam G-30-S, termasuk Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil Perdana Menteri I, Soebandrio, dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor menggunakan helikopter yang telah disiapkan. Sementara, sidang ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II, Dr. J. Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi tersebut dilaporkan kepada Mayor Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat setelah menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani yang gugur dalam peristiwa G-30-S/PKI.
Soeharto tidak menghadiri sidang kabinet karena sedang sakit. Namun, beberapa pihak menilai ketidakhadirannya sebagai bagian dari skenario yang disengaja untuk menunggu perkembangan situasi, mengingat hal itu dianggap sebagai sebuah kejanggalan.
Mayor Jenderal Soeharto mengirim tiga perwira tinggi Angkatan Darat ke Istana Bogor untuk bertemu dengan Presiden Soekarno, yaitu Brigadir Jenderal M. Jusuf, Brigadir Jenderal Amirmachmud, dan Brigadir Jenderal Basuki Rahmat.
Pada malam hari, setibanya di Istana Bogor, ketiga perwira tersebut berdiskusi dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi.
Mereka menyatakan Mayor Jenderal Soeharto mampu mengendalikan keadaan dan memulihkan keamanan jika diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberinya wewenang untuk bertindak. Menurut Jenderal (Purn.) M. Jusuf, perbincangan dengan Presiden Soekarno berlangsung hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno menyetujui usulan tersebut, sehingga disusunlah surat perintah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Surat ini ditujukan kepada Mayor Jenderal Soeharto, selaku Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam memulihkan keamanan dan ketertiban.
Surat Supersemar tiba di Jakarta pada 12 Maret 1966 sekitar pukul 01.00 waktu setempat, dibawa oleh Sekretaris Markas Besar Angkatan Darat Brigjen Budiono. Berdasarkan kesaksian Sudharmono, pada 11 Maret 1966 sekitar pukul 22.00, ia menerima telepon dari Mayjen Sutjipto, Ketua G-5 KOTI.
Dalam percakapan tersebut, Sutjipto meminta agar konsep pembubaran PKI segera disiapkan dan harus diselesaikan malam itu juga, sesuai perintah Pangkopkamtib, yang saat itu dijabat oleh Mayjen Soeharto. Bahkan, sebelum Supersemar tiba, Sudharmono sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut.
- Harga Sembako di Jakarta Selasa, 11 Maret 2025: Beras Medium Naik, Beras IR. I (IR 64) Turun
- Lebaran Kian Dekat, Ini Cara Mudik Gratis Bisa Bawa Motor
- Cuma Ada 5 Saham LQ45 yang Naik Pagi Ini: Terbanyak Emiten Tambang
Surat Perintah 11 Maret 1966 dikeluarkan untuk mengatasi situasi yang semakin memanas saat itu. Berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, Soeharto kemudian diangkat sebagai Presiden, menandai dimulainya era Orde Baru.
Setiap 11 Maret, peristiwa ini diperingati sebagai Hari Supersemar, sebuah momen bersejarah bagi Indonesia. Peringatan ini bertujuan untuk mengenang dikeluarkannya surat perintah tersebut pada tahun 1966, yang menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah bangsa.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 11 Mar 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 11 Mar 2025