Pacu Jalur, Warisan Budaya yang Mendunia Lewat Media Sosial, Ini Sejarahnya

Redaksi Daerah - Jumat, 04 Juli 2025 22:00 WIB
Sejarah Pacu Jalur yang Kini Lagi Viral di Media Sosial

JAKARTA – Belakangan ini, perlombaan perahu tradisional Pacu Jalur kembali menarik perhatian warganet.

Di media sosial, tersebar cuplikan video yang menampilkan para pendayung cilik bergerak kompak memutar tangan dan mengayunkan tubuh mereka demi menjaga keseimbangan perahu saat melesat di Sungai Kuantan

Dalam video tersebut, tampak puluhan anak mendayung perahu panjang khas Pacu Jalur, sementara seorang anak yang dikenal dengan sebutan Anak Coki menampilkan tarian energik di bagian depan perahu.

Dilansir dari Antara, video-video tersebut sering diiringi lagu latar Young Black & Rich”dari Melly Mike, yang menghadirkan nuansa penuh kepercayaan diri dan kekuatan, sejalan dengan semangat tokoh utama yang menjadi ciri khas dalam tren Aura Farming.

Menurut situs Know Your Meme, fenomena aura farming mulai populer sejak September 2024. Kini, tren ini telah berkembang menjadi sarana baru yang memperkenalkan budaya lokal Indonesia ke kancah dunia dengan cara yang emosional dan menarik perhatian.

Selain itu, gerakan Pacu Jalur tidak hanya menghibur penonton di daerah setempat, tapi juga menarik perhatian dunia, hingga akhirnya ditiru oleh para pemain sepak bola dari klub AC Milan dan Paris Saint-Germain (PSG) sebagai bentuk selebrasi kemenangan mereka.

Namun, jauh sebelum viral di media sosial, Pacu Jalur telah menjadi tradisi yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Kuantan Singingi.

Sejarah Pacu Jalur

Pacu Jalur merupakan pesta rakyat yang menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi. Tradisi ini berasal dari abad ke-17, ketika perahu kayu panjang yang dikenal dengan sebutan “jalur” digunakan sebagai sarana transportasi utama oleh masyarakat desa yang tinggal di sepanjang Sungai Kuantan.

Wilayah tersebut membentang mulai dari daerah Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Cerenti di bagian hilir.

Dilansir dari kotajalur.kuansing.go.id, saat itu, transportasi darat belum berkembang, sehingga jalur benar-benar menjadi sarana angkut utama bagi warga desa. Perahu ini digunakan terutama untuk membawa hasil bumi seperti pisang dan tebu, serta mampu mengangkut sekitar 40 hingga 60 orang.

Seiring waktu, muncul jalur-jalur yang dihias dengan ukiran artistik, seperti kepala ular, buaya, atau harimau, yang terletak di bagian lambung maupun selembayung. Hiasan tersebut dilengkapi dengan perlengkapan seperti payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang), serta lambai-lambai, yakni tempat juru mudi berdiri.

Perubahan tersebut menandai pergeseran fungsi jalur, dari sekadar alat transportasi menjadi simbol status sosial. Saat itu, hanya para penguasa wilayah, kalangan bangsawan, dan para datuk yang memiliki dan menggunakan jalur berhias tersebut.

Sekitar 100 tahun kemudian, arga mulai melihat daya tarik lain dari jalur, yang mendorong munculnya perlombaan adu kecepatan antar jalur. Perlombaan inilah yang kemudian dikenal hingga kini sebagai Pacu Jalur.

Awalnya, pacu jalur diadakan di desa-desa sepanjang Sungai Kuantan sebagai bagian dari perayaan hari-hari besar Islam. Namun, seiring waktu, tradisi ini mengalami perubahan fungsi dan kini diselenggarakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Oleh karena itu, Pacu Jalur biasanya digelar pada bulan Agustus. Ketika acara berlangsung, Kota Jalur berubah menjadi lautan manusia. Kemacetan lalu lintas terjadi di mana-mana, dan para perantau pun kembali pulang hanya untuk menyaksikan momen istimewa ini. Jumlah jalur yang berpartisipasi dalam perlombaan bisa melebihi 100 perahu.

Bagi masyarakat setempat, jalur merupakan perahu besar yang dibuat dari kayu utuh tanpa sambungan, dan mampu menampung sekitar 45 hingga 60 pendayung yang dikenal sebagai anak pacu.

Pacu Jalur bukan hanya sekedar mendayung perahu, tetapi juga menuntut kekompakan dan kerja sama tim yang solid. Setiap orang di atas jalur memiliki tugas dan peran yang berbeda-beda, yang semuanya berkontribusi terhadap keberhasilan tim.

Perlombaan ini umumnya melibatkan ratusan perahu, sehingga jumlah atlet yang turut serta bisa mencapai ribuan orang. Dari puluhan atlet yang berada di atas perahu, tidak semuanya bertugas sebagai pendayung.

Berdasarkan Peraturan Bupati Kuantan Singingi Nomor 16 Tahun 2023, setiap jalur wajib memiliki sejumlah posisi tertentu, antara lain:

Anak Pacuan/Pendayung: Merupakan posisi terbanyak di atas perahu, duduk berjejer sepanjang jalur. Tugas utama mereka adalah mendayung secara serempak dan cepat.

Tukang Tari: Penari yang berada di bagian depan perahu (haluan). Selain menampilkan gerakan khas, ia juga berperan menjaga keseimbangan jalur.

Tukang Timbo Ruang: Bertanggung jawab untuk menimba air yang masuk ke dalam perahu serta turut memberikan semangat kepada anak pacuan.

Tukang Onjai: Orang yang berdiri di bagian belakang jalur, ia bertugas menentukan arah pada anak pacuan jalur.

Tradisi perlombaan yang diyakini telah berlangsung sejak tahun 1903 ini kini menjadi agenda tahunan Pemerintah Provinsi Riau sebagai daya tarik wisata, baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara, khususnya untuk mengunjungi Kabupaten Kuantan Singingi.

Saat masa penjajahan Belanda, pacu jalur diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan adat, kenduri rakyat, serta untuk memperingati hari kelahiran Ratu Belanda, Wilhelmina, yang jatuh pada tanggal 31 Agustus.

Perlombaan pacu jalur kala itu dimulai pada 31 Agustus dan berlangsung hingga tanggal 1 atau 2 September. Lamanya perlombaan, yang biasanya berlangsung selama 2 hingga 3 hari, tergantung pada jumlah jalur yang ikut pacu.

Saat ini, kemeriahan warna-warni kostum, dentuman meriam sebagai tanda dimulainya lomba, serta sorak-sorai penyemangat menjadi pesona budaya lokal khas Kuantan Singingi, Riau, yang layak untuk dinanti dan dinikmati.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 04 Jul 2025

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 04 Jul 2025

Editor: Redaksi Daerah

RELATED NEWS