Transisi ke Ekonomi Hijau, Solusi Memitigasi Krisis Iklim
JAKARTA,LyfeBengkulu.com- Menjelang peringatan Hari Bumi, Koalisi Transisi Ekonomi Hijau (K-TEH) dengan berbagai latar keilmuan dan profesi, mengeluarkan pernyataan sikap untuk mendorong perubahan strategis sektor perekonomian agar mengedepankan praktik keberlanjutan dengan mengutamakan masa depan manusia dan alam. Pernyataan sikap ini dikeluarkan dalam sebuah diskusi daring dengan tema “Menuju Indonesia yang Hijau, Sejahtera dan Berkeadilan.”
“Masa depan Indonesia berada di persimpangan jalan. Kita harus meninggalkan jalan “busines as usual” yang bakal membawa bencana dan memilih jalan ekonomi hijau sebagai alternatif masa depan menuju Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan. Berbagai kajian dan fakta lapangan dari para peneliti dalam dua laporan IPCC sudah lebih dari cukup untuk membuat dasar urgensi kita bergerak meninggalkan ekonomi yang berbasis sektor industri ekstraktif menuju keberlanjutan,” ujar Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Pencapaian transisi ekonomi hijau memerlukan pendanaan yang signifikan. Di tengah keterbatasan dana, porsi anggaran untuk kegiatan beremisi tinggi masih lebih besar daripada anggaran hijau. Akibatnya, investasi swasta pun belum maksimal mendukung pengembangan energi terbarukan. “Terlepas sudah adanya sukuk hijau dan insentif hijau, belanja pemerintah belum memberikan sinyal yang konsisten menarik investor hijau,” ucap Tiza Mafira, Climate Policy Initiative.
Di sektor energi, mengacu data pemerintah, porsi EBT baru mencapai 11.5% pada 2021, sedangkan targetnya 23% pada 2025. Dalam kategori EBT, masih banyak rencana membuat energi kotor seperti batu bara, untuk ‘dihijaukan,’ ketimbang mendorong porsi energi surya dan bayu. “Padahal animo masyarakat dan sektor swasta semakin besar untuk menggunakan dua sumber energi yang ketersediaannya tanpa batas ini,” sebut Berly Martawardaya dari INDEF.
Melihat berbagai fakta yang ada, Indonesia masih belum bergerak secara masif menuju ekonomi sirkular. Menuju perhelatan G20 yang akan berlangsung tahun ini di Indonesia, pemerintah bisa menunjukkan keberpihakan pada aspek keberlanjutan dengan mengutamakan usaha-usaha mandiri, ketimbang menunggu kucuran bantuan internasional.
- Empat Tips Sederhana Bikin Bukber di Rumah Makin Spesial dan Semarak
- #RamadanSmartLife, Produk AIoT Berkualitas realme Diskon Hingga 50 Persen
- Xiaomi Luncurkan Redmi 10C, Smartphone dengan Chipset Jagoan Harga Sejutaan Terbaik di Kelasnya
“Melihat intensitas bencana hidrometeorologi yang semakin tinggi, dengan dampaknya yang luas ke kesejahteraan penduduk termasuk di pesisir dan urban, waktunya sudah menipis untuk kita menelurkan target yang ambisius dan tindakan progresif, melalui pengembangan penerapan ekonomi dan keuangan berwawasan lingkungan hidup” tutup Hayu Prabowo, inisiator Ecomasjid.
Kami dari Koalisi Transisi Ekonomi Hijau (K-TEH) menyampaikan sikap sebagai berikut:
1. Menuntut pemerintah untuk melakukan reorientasi dan realokasi anggaran dan belanja publik -termasuk pendanaan BUMN.
2. Mendesak pemerintah untuk mencabut peraturan-peraturan yang berpihak pada eksploitasi alam (ekstraktivisme) yang tidak berkelanjutan dan menerapkan kebijakan yang mendukung transisi hijau di lima sektor prioritas (energi dan transportasi, konsumsi berkelanjutan dan manufaktur, agrikultur berkelanjutan dan maritim, kehutanan dan penggunaan lahan, dan pembiayaan pembangunan rendah karbon).
3. Mendorong pemerintah untuk segera mengakselerasi transisi menuju energi bersih dan terbarukan serta mempercepat pencapaian target Net Zero Emission (NZE), serta menuntut pemerintah untuk mendesak negara maju mencapai NZE sebelum 2050.
4. Meminta dunia usaha untuk menjalankan praktik usaha yang ramah lingkungan, mengakselerasi transisi menuju model produksi yang rendah karbon, rendah polusi dan mengimplementasikan extended producer responsibility (EPR) serta merancang rantai pasok yang sirkular untuk memastikan keekonomian pemanfatan kembali produk yang sudah selesai masa pakainya.
5. Mengajak masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, akademisi, dan tokoh agama, dan media masa berkolaborasi untuk meningkatkan dan mengajak komunitasnya menjalankan pola hidup konsumsi berkelanjutan dan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, serta mengedepankan sains dan menolak fake news.