Trump Ingin Selamatkan Hollywood, Drama Korea Kena Imbasnya?
JAKARTA – Setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, pada 4 Mei 2025 mengumumkan rencananya untuk menerapkan tarif 100% terhadap seluruh film yang diproduksi di luar negeri dengan alasan untuk membangkitkan kembali industri Hollywood yang dianggap "sekarat" dan melindungi lapangan kerja dalam negeri, industri hiburan Korea kini memasang kewaspadaan tinggi.
Kebijakan ini dinilai berpotensi menjadi ancaman bagi perkembangan industri konten Korea (K-content), yang selama ini tengah meraih popularitas global melalui kolaborasi dengan platform besar seperti Netflix, Disney+, serta sejumlah studio ternama Hollywood.
Bahkan sebelum masa kepresidenan keduanya dimulai, Trump telah menunjuk tiga aktor ternama, Jon Voight, Sylvester Stallone, dan Mel Gibson, sebagai “Duta Khusus” untuk menghidupkan kembali Hollywood, yang dalam beberapa tahun terakhir kehilangan banyak pasar ke industri luar negeri.
Ada ketidakpastian yang luas mengenai bagaimana tarif semacam itu akan diterapkan pada film, terutama karena film berbeda dengan barang fisik, dan aturan terkait konten digital serta platform streaming masih belum jelas.
- 6 Negara dengan Perekonomian Paling Stabil di Dunia, Tertarik Pindah?
- Tajir Melintir! Ini 10 Idol K-Pop Terkaya di Dunia, Ada IU hingga Jennie BLACKPINK
- Terlihat Sepele, Ternyata Ini Fungsi Loop pada Seat Belt Mobil
Para ahli memperkirakan dampak kebijakan ini terhadap industri konten Korea (K-content) tidak akan terlalu besar, mengingat Korea bukanlah basis produksi utama maupun lokasi syuting penting bagi Hollywood. Namun, ada kekhawatiran bersama bahwa ekspansi global film Korea bisa mengalami hambatan.
Menurut Dewan Film Korea (KOFIC), kebijakan tarif Trump kemungkinan hanya akan berdampak kecil terhadap industri film Korea dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan oleh porsi ekspor film Korea ke AS yang relatif kecil, dikutip dari The Korea Times.

Pada tahun 2024, Korea mengekspor film senilai US$41,93 juta dalam bentuk karya jadi, dan hanya US$4,21 juta atau sekitar 10% yang dikirim ke Amerika Serikat. Meski AS menempati peringkat ketiga sebagai negara tujuan ekspor terbesar, laporan “Korean Film Industry Report” dari KOFIC mencatat skala ekspornya secara keseluruhan masih tergolong rendah.
“Belakangan ini, film Korea memang semakin dikenal di Amerika Serikat berkat platform streaming global, tetapi kehadirannya masih sebanding dengan film-film arthouse di Korea. Jika semuanya dijumlahkan, pasar ini sebenarnya masih tergolong kecil,” ujar Yun Ha, Direktur Tim Riset dan Pengembangan Kebijakan KOFIC.
“Efek utama dari tarif adalah menaikkan harga suatu barang agar orang tidak membelinya. Namun pada kenyataannya, tarif biasanya dikenakan pada barang fisik, jadi film tidak sepenuhnya termasuk dalam kategori itu. Kalaupun tarif dikenakan terhadap film, kecil kemungkinan harga tiket akan naik karenanya, atau kalaupun naik, dampaknya sangat minimal,” sambungnya.
Berkurangnya Kesempatan untuk Film Korea
Para pelaku industri menyatakan, kebijakan ini berpotensi besar mengurangi peluang pertumbuhan bagi film dan sineas Korea dalam jangka menengah hingga panjang. Pasalnya, AS merupakan pasar film terbesar di dunia dan menjadi panggung utama yang menentukan performa box office global serta pengakuan kritis internasional.
“Jika sebuah film sukses di box office Amerika atau mampu menembus pasar AS, dampaknya terhadap nilai merek dan kekuatan pemasarannya sangat besar. Di saat film Korea tengah mengalami ekspansi melalui platform streaming, perkembangan seperti ini bisa saja menghentikan momentum tersebut untuk sementara waktu,” ujar Yun.
“Yang lebih saya khawatirkan adalah jika kebijakan ini justru dimanfaatkan secara politis sebagai alat tawar-menawar untuk menantang kebijakan dukungan pemerintah Korea terhadap industri filmnya.”
Asosiasi Film Amerika (Motion Picture Association) dan sejumlah organisasi industri lainnya di AS menyuarakan keberatan terhadap sistem kuota layar yang diterapkan Korea. Pada bulan Maret, mereka mengajukan pernyataan kepada Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) agar sistem tersebut dikurangi atau dihapuskan.
Sistem kuota ini awalnya diterapkan beberapa dekade lalu untuk melindungi film domestik dari dominasi film-film blockbuster Hollywood. Awalnya, bioskop diharuskan menayangkan film Korea selama 146 hari dalam setahun, namun jumlah itu dikurangi menjadi 73 hari sejak tahun 2006.
Mengembangkan Korea Sebagai Pusat Inovasi dalam Teknologi Hiburan
Untuk meminimalkan risiko tarif di masa mendatang, sejumlah pelaku industri menyarankan agar Korea mengembangkan diri sebagai pusat teknologi hiburan (entertech), dengan fokus pada produksi tingkat lanjut, investasi, dan ekosistem distribusi, termasuk produksi virtual, pengeditan berbasis AI, sulih suara (dubbing), serta teknologi berbasis cloud.
“Bagi sektor film dan televisi Korea, yang selama ini tumbuh melalui kerja sama produksi dan ekspor ke Amerika Serikat, pernyataan Trump menjadi peringatan penting,” ujar Jung Han, CEO media K EnterTech Hub sekaligus penasihat untuk platform streaming konten Korea berbasis AS, KOCOWA, yang dioperasikan oleh Wavve Americas.
“Industri harus mengevaluasi kembali ketergantungannya pada distribusi dan pendanaan dari AS, serta mengambil langkah proaktif untuk mengurangi risiko yang berkaitan dengan tarif,” paparnya.
Han menyatakan, dengan mengadopsi inovasi mutakhir, studio dapat mengurangi ketergantungan pada lokasi syuting fisik dan meningkatkan efisiensi produksi.
- Kenapa OJK Masih Pede Kredit Akan Positif di Tengah Ketidakpastian?
- Bank DKI dan Prospek IPO Perbankan: Apa yang Perlu Diketahui?
- Prakiraan Cuaca Besok dan Hari Ini 12 Mei 2025 untuk Wilayah DKI Jakarta
Terlepas dari apakah rencana Trump hanya sekadar menarik perhatian publik atau benar-benar akan diterapkan sebagai kebijakan, Han menegaskan kebutuhan akan model produksi yang fleksibel dan berbasis teknologi kini tak bisa dihindari.
“Teknologi produksi virtual, misalnya, memungkinkan para pembuat film menciptakan latar realistis di dalam studio tanpa perlu bepergian ke lokasi nyata. Selain itu, alur kerja berbasis AI dapat mempercepat proses pra-visualisasi, pemecahan naskah, hingga pascaproduksi. Sehingga proses kreatif menjadi lebih fleksibel dan tidak lagi terikat pada batasan geografis,” jelas Han.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 13 May 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 15 Mei 2025