Terungkap! Riset Bahas Risiko Kegagalan Proyek Food Estate
JAKARTA — Pada 21 Oktober 2024, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyampaikan tekad pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mampu meraih swasembada pangan dan energi dalam lima tahun ke depan.
Penunjukan Zulhas sebagai Menko Bidang Pangan menegaskan pentingnya sektor pangan dalam pemerintahan baru ini. Salah satu agenda utamanya adalah memanfaatkan potensi wilayah di luar Pulau Jawa untuk mewujudkan target ambisius tersebut.
Zulhas menjelaskan bahwa tidak mungkin hanya mengandalkan Pulau Jawa sebagai pusat produksi pangan, mengingat tingginya tingkat urbanisasi dan keterbatasan lahan. Ia juga menyoroti bahwa sebagian besar lahan di Sumatera sudah didominasi oleh perkebunan kelapa sawit.
- 7 Rekomendasi Aplikasi Pencatat Keuangan Agar Kondisi Finansial Tetap Terjaga
- Catat! Ini Cara Ampuh Menghindari Jebakan Penipuan di Media Sosial
- Bosan dengan Isi Feed Instagram Explore Anda? Ini Cara Mengubahnya Secara Instan
Karena itu, fokus pemerintah akan diarahkan pada pengembangan lumbung pangan di wilayah-wilayah lain seperti Papua. "Di masa depan, untuk menanam padi, gula, dan jagung, kita akan memanfaatkan wilayah Papua, khususnya Merauke, yang sudah mulai kita coba sebagai salah satu pusat pengembangan lumbung pangan," jelas Zulhas.
Rencana pemerintah Prabowo untuk memaksimalkan wilayah di luar Jawa, terutama Papua, mengingatkan publik pada proyek food estate yang digagas oleh pemerintahan sebelumnya di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Program food estate tersebut awalnya diharapkan dapat menjadi solusi bagi ketahanan pangan nasional, namun dalam implementasinya menemui berbagai kendala hingga dianggap gagal mencapai target yang diharapkan.
Proyek food estate di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Papua diharapkan bisa menjadi lumbung pangan baru bagi Indonesia.
Tantangan Prabowo
Namun, proyek tersebut menghadapi sejumlah tantangan besar, termasuk masalah lingkungan, kurangnya infrastruktur yang memadai, serta minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaannya. Sebagai akibatnya, program tersebut tidak mampu memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan produksi pangan nasional.
Riset di Journal of Tropical Agriculture Sciences mencatat, salah satu tantangan utama dalam proyek food estate di pemerintahan sebelumnya adalah kurangnya perencanaan yang matang, yang termasuk dalam pemilihan lokasi yang tidak cocok, masalah teknologi, hingga tidak adanya sinergi yang baik antara pemerintah dan masyarakat lokal.
Meskipun proyek food estate menargetkan peningkatan produksi pangan secara signifikan, hasilnya justru jauh dari harapan. Riset ini juga mengungkapkan bahwa program food estate sebelumnya menyebabkan masalah lingkungan, seperti deforestasi yang meningkatkan pelepasan karbon, dan mengurangi keanekaragaman hayati.
Salah satu masalah mendasar dari kegagalan proyek ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat, dalam proses perencanaan dan implementasi.
Di beberapa daerah, masyarakat adat yang bergantung pada lahan tersebut untuk mata pencaharian merasa hak-haknya diabaikan. Ketiadaan partisipasi aktif dari masyarakat lokal tidak hanya menciptakan konflik lahan, tetapi juga membuat program ini tidak berkelanjutan.
Selain itu, kurangnya perencanaan yang matang juga menjadi faktor terbesar dari kegagalan food estate di masa lalu adalah, termasuk dalam hal pemilihan lokasi yang kurang tepat dan ketidakcocokan lahan untuk pertanian intensif. Contohnya, proyek food estate di Kalimantan Tengah memilih lahan gambut sebagai lokasi utama.
Namun, lahan gambut memiliki karakteristik yang sulit diolah untuk pertanian, seperti kandungan asam yang tinggi dan risiko kebakaran. Jurnal tersebut mencatat bahwa proyek ini gagal karena tidak memperhitungkan kondisi lahan secara cermat, yang akhirnya mengakibatkan hasil panen tidak sesuai harapan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Ilyas Maulana Firdaus pada 22 Oct 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 23 Okt 2024