Kesehatan
Senin, 18 November 2024 19:53 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA - Kebiasaan sleep call kini tampaknya banyak dilakukan oleh remaja. Namun, ternyata kebiasaan tersebut justru berisiko mengganggu kualitas tidur mereka. Dosen Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (UI), Hening Pujasari, mengungkapkan dampak negatif dari kebiasaan tersebut.
Menurut Hening, sleep call yang biasanya dilakukan melalui panggilan telepon atau video call sebelum tidur, dapat menyebabkan gangguan tidur yang signifikan.
Hening menjelaskan bahwa kebiasaan "sleep call" dapat mengganggu proses tidur yang sehat, di antaranya karena paparan sinar UV dari layar gawai yang menghambat produksi melatonin, hormon yang berfungsi untuk mengatur tidur. Selain itu, suara dari percakapan juga dapat mengganggu ketenangan tidur, menjadikan tidur tidak nyenyak dan mempengaruhi kualitas tidur secara keseluruhan.
Hening menekankan bahwa untuk mendapatkan tidur yang dapat memulihkan tubuh dipagi hari, kualitas tidur yang utuh dan tidak terputus sangatlah penting. Tidur yang tidak berkualitas, seperti terbangun di tengah malam atau terpapar cahaya dari gawai, bisa mengurangi durasi tidur yang diperlukan tubuh untuk pemulihan. Menurutnya, tidur yang optimal tidak hanya mengandalkan durasi, tetapi juga kedalaman dan kualitas tidur yang tidak terganggu.
"Padahal, untuk mendapatkan benefit dari tidur atau tidur yang memulihkan (restoratif), selain durasi dan kedalaman, kita perlu tidur yang utuh tidak terputus-putus," ungkap Hening, dikutip Antara, Minggu, 17 November 2024.
Selain fenomena "sleep call," penggunaan gawai sebelum tidur, seperti bermain gim atau scrolling media sosial, ternyata dapat berdampak buruk pada kualitas tidur. Hal ini disebabkan oleh paparan cahaya biru yang dipancarkan oleh layar gawai. Cahaya biru ini mengganggu produksi hormon melatonin, yang berfungsi penting untuk mengatur siklus tidur alami tubuh. Ketika kadar melatonin terganggu, tubuh kesulitan untuk memasuki fase tidur yang dalam, sehingga tidur menjadi kurang nyenyak dan tidak restorative.
Paparan cahaya biru dari gawai mengirimkan sinyal ke otak yang mengindikasikan bahwa hari masih siang, sehingga tubuh merasa terjaga dan waspada. Sebagai akibatnya, otak tidak mendapatkan sinyal untuk bersiap tidur. Hal ini mengarah pada kesulitan dalam tidur, bahkan bagi mereka yang merasa kelelahan setelah seharian beraktivitas. Jika kebiasaan ini terus berlanjut, dapat memengaruhi tidak hanya kualitas tidur, tetapi juga kesehatan mental dan fisik dalam jangka panjang.
Untuk menghindari dampak negatif ini, Hening menyarankan untuk berhenti menggunakan gawai setidaknya 1-2 jam sebelum tidur. Dengan memberi jeda waktu bagi tubuh untuk beristirahat tanpa gangguan cahaya biru, tubuh dapat mulai memproduksi melatonin secara alami dan mempersiapkan diri untuk tidur yang lebih berkualitas. Mengadopsi kebiasaan ini dapat membantu tidur menjadi lebih nyenyak, sehingga tubuh dapat pulih dan siap menghadapi aktivitas keesokan harinya.
"Untuk mendapatkan tidur yang memulihkan, 1-2 jam sebelum tidur perlu sudah berhenti main gawai. Jadi, jika akan tidur pukul 22.00 dianjurkan maksimal pukul 21.00 sudah tidak memakai gawai, jika bisa 2 jam sebelumnya, akan manfaat lebih baik lagi," pungkas Hening.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 17 Nov 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 18 Nov 2024
Bagikan