Indonesia
Selasa, 08 Oktober 2024 14:46 WIB
Penulis:Redaksi Daerah
Editor:Redaksi Daerah
JAKARTA – Baru-baru ini dorongan menerapkan gaya hidup sederhana kembali mengemuka. Hal itu diketahui saat Ketua MPR RI periode 2024-2029 Ahmad Muzani, menekankan agar seluruh anggota MPR RI menghindari kebiasaan bermewah-mewah.
Saat ditanya mengenai alasan di balik pesannya, ia menyatakan hidup sederhana merupakan cara bagi setiap manusia untuk menikmati apa yang telah diberikan dan dititipkan oleh bangsa.
“Pokoknya kita nikmati, kita mensyukuri, tadi ada penjelasannya dan jadi saya kira itu. Saya tidak bermaksud menyampaikan kepada siapapun tapi mengingatkan kepada seluruh kita semuanya,” katanya di kompleks parlemen Senayan, Jakarta, Kamis, 3 Oktober 2024.
Muzani menilai, hidup sederhana adalah cara untuk menikmati anugerah Tuhan. Menurutnya, pidato tersebut merupakan pesan untuk selalu bersyukur.
“Saya ingin mengajak semua untuk memenuhi pada prinsip moral, yakni agar kita selalu menjaga hidup sederhana tidak berlebihan dan berpegang teguh pada konstitusi yang berlaku,” katanya.
Saat disinggung apakah pernyataan tersebut disampaikan terkait kondisi terbaru yang ramai diperbincangkan terkait penggunaan jet pribadi oleh putra Presiden RI Joko Widodo, Kaesang Pangarep, Muzani menolak anggapan tersebut.
Ia menjelaskan, pernyataan itu murni sebagai pengingat bagi seluruh anggota MPR RI dan tidak ditujukan untuk menyinggung pihak manapun.
“Hidup sederhana adalah sebuah cara bagaimana kita itu bisa menikmati atas apa yang sudah diberikan oleh bangsa dan negara, oleh Tuhan Yang Maha Esa, oleh Allah kepada kita sehingga itu bisa menjadi sebuah cara kita dalam laku dan perilaku kita sehari-hari,” ungkapnya, dilansir dari Antara.
Indonesia sendiri sejatinya tidak kekurangan role model untuk bergaya hidup secukupnya. Berikut beberapa rangkuman gaya hidup sederhana yang dimiliki para pejabat RI zaman dulu:
Bapak Proklamator Mohammad Hatta sekaligus wakil presiden pertama ini dikenal dengan gaya hidupnya yang sangat sederhana. Meskipun berasal dari keluarga terpandang, Hatta memilih untuk hidup dengan kesederhanaan dan menolak kemewahan.
Hatta juga dikenal tidak mau mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya. Kesederhanaannya ini diakui oleh banyak tokoh, termasuk mantan sekretaris pribadinya, I Wangsa Widjaja. Setiap bulan, selalu ada sisa anggaran biaya rumah tangga wakil presiden, dan Hatta selalu mengembalikan uang tersebut ke kas negara.
Dilansir dari indonesia.go.id, Bung Hatta selalu menolak pemberian amplop dari pejabat-pejabat daerah setiap kali ia melakukan kunjungan. Alasannya sederhana, karena seluruh biaya perjalanan dan akomodasi selama kunjungannya sudah ditanggung oleh negara.
Gaya hidup yang jujur dan sederhana ini terus ia jalani bahkan setelah pensiun sebagai wakil presiden. Namun, uang pensiun yang diterimanya ternyata tidak mencukupi untuk membayar berbagai tagihan, seperti air bersih, telepon, listrik, dan iuran rehabilitasi daerah.
Hatta kemudian mencari cara untuk mengatasi masalah keuangan tersebut. Ia memutuskan untuk mulai menulis dan mengajar agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya serta membayar tagihan-tagihan rutin rumah tangga.
Bahkan, kesederhanaannya juga terlihat ketika ia menolak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Hatta lebih memilih untuk dikubur di pemakaman umum agar tetap dekat dengan rakyat.
Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik di era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto Ir Sutami patut dijadikan teladan. Meskipun mengawasi banyak proyek pembangunan, ia tetap menjalani hidup dengan sangat sederhana. Bahkan, Sutami sering disebut sebagai menteri termiskin dalam sejarah Republik Indonesia.
Lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1956, ia dikenal sebagai sosok yang berperan penting dalam pembangunan berbagai infrastruktur besar yang hingga kini menjadi kebanggaan bangsa. Beberapa di antaranya adalah Gedung DPR, Jembatan Semanggi, Jembatan Ampera, dan Bandara Ngurah Rai Bali.
Meski memiliki jabatan penting, ia tidak pernah memanfaatkan fasilitas negara. Ia menolak fasilitas yang diberikan sebagai menteri dan selalu berusaha untuk tidak merepotkan orang lain. Bahkan, rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, dibeli dengan penuh perjuangan melalui cicilan. Rumah itu baru lunas setelah ia pensiun.
Meskipun menjabat sebagai Menteri, Sutami justru tinggal di rumah dengan atap yang bocor. Hal ini diungkapkan Hendropranoto Suselo, Staf Ahli Menteri PU, dalam tulisannya di Edisi Khusus 20 Tahun Majalah Prisma yang diterbitkan LP3ES (1991).
Selain atap yang bocor, rumah Sutami juga sempat mengalami pemutusan layanan listrik oleh PLN. Kejadian ini terjadi di rumah pribadinya di Kota Surakarta. Saat itu, Sutami kekurangan uang, sehingga terlambat membayar tagihan listrik. Akibatnya, PLN melakukan pemutusan sementara layanan listrik di rumahnya.
Dedikasinya sebagai menteri tidak diragukan. Ia bahkan rela berjalan kaki puluhan kilometer saat meninjau daerah terpencil. Presiden Soekarno sering mengundangnya ke Istana hanya untuk makan bersama. Setelah pensiun, Sutami mengembalikan semua fasilitas yang pernah ia terima. Meskipun berstatus sebagai mantan menteri, Sutami tetap menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan.
Natsir menjabat sebagai Perdana Menteri (PM) tahun 1950-1951. Ia juga pernah menjadi Menteri Penerangan tahun 1946-1947 di bawah PM Sutan Syahrir, dan tahun 1948-1949 saat Mohammad Hatta menjabat sebagai PM. Meski memegang posisi tinggi, Natsir tetap mempertahankan jati dirinya sebagai sosok yang sederhana.
Sifat dan penampilannya tidak pernah berubah. Rumah, pakaian, kendaraan, dan gaya hidupnya tetap sederhana. Bahkan, beberapa orang pernah melihat sosok petinggi Partai Masyumi ini mengenakan jas yang bertambal.
“Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan dia seorang menteri dalam pemerintahan,” tulis Guru Besar Universitas Cornell, Goerge McTurnan Kahin dalam buku Natsir, 70 Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.
Dengan dua jabatan mentereng, seharusnya ia bisa hidup dalam kemewahan. Tapi, kenyataannya hidupnya jauh dari kaya. Saat itu, Natsir hanya memiliki sebuah mobil De Soto yang sudah tua, yang ia beli dengan susah payah setelah menabung selama bertahun-tahun.
Dalam “Seri Buku Tempo, Natsir, politik santun di antara dua rezim,” diceritakan suatu hari, seorang tamu datang ke rumah Natsir dengan niat memberikan sebuah mobil Chevrolet Impala. Pada 1956, Chevrolet Impala mungkin setara dengan Toyota Royal Saloon yang biasa digunakan oleh pejabat RI saat ini.
Anak-anak Natsir yang mendengarkan pembicaraan antara tamu dan ayah mereka merasa sangat gembira, membayangkan betapa menyenangkannya mengendarai Chevrolet Impala yang besar dan mewah itu. Namun, harapan mereka sirna ketika Natsir dengan lembut menolak halus pemberian tersebut.
“Mobil itu bukan hak kita. Lagipula yang ada masih cukup,” ujar Natsir menghibur anak-anaknya. Saat itu Natsir masih menjadi pejabat negara.
Keluarga Natsir mengalami kesulitan untuk membeli rumah. Selama bertahun-tahun menjabat sebagai menteri, mereka harus menumpang hidup di paviliun milik sahabat Natsir, Prawoto Mangkusaswito, di Kampung Bali, Tanah Abang. Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Natsir tinggal di paviliun milik keluarga Agus Salim.
Baru pada akhir 1946, pemerintah memberikan rumah dinas untuk Natsir, sehingga untuk pertama kalinya keluarga Natsir tidak menumpang lagi. Rumah tersebut terletak di Jl Jawa, Jakarta Pusat.
Kesederhanaan Natsir terlihat dalam berbagai aspek, mulai dari kemeja lusuhnya yang hanya terdiri dari dua helai, jasnya yang bertambal, hingga sikapnya yang santun. Para pegawai di Kementerian Penerangan bahkan pernah urunan untuk membelikan Natsir kemeja baru agar ia terlihat lebih pantas sebagai seorang menteri.
Sikapnya membuat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mempercayainya untuk menjabat sebagai Jaksa Agung. Lopa dipercayakan sebagai Jaksa Agung karena dianggap mampu menangani kasus-kasus korupsi besar, termasuk kasus yang melibatkan kroni mantan Presiden Soeharto.
Meski memiliki jabatan penting, dia dikenal sebagai sosok yang sederhana. Rumahnya di Pondok Bambu, Jakarta Timur, tidak besar.
Dilansir dari aclc.kpk.go.id, mengutip buku “Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa,” Lopa menabung sedikit demi sedikit dari gajinya di celengan untuk merenovasi rumah sederhana di kampung halamannya, Makassar.
Sebagai pejabat negara, bisa saja ia memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan uang lebih. Kenyataannya, Lopa harus menabung di celengan hanya untuk sekadar merenovasi rumahnya, dan jumlah yang terkumpul masih belum cukup.
Untuk menambah penghasilannya, Lopa membuka wartel dengan lima bilik telepon dan menyewakan PlayStation di samping rumahnya di Pondok Bambu. Ia juga sering mendapatkan honor ratusan ribu dari menulis kolom di surat kabar. Dari sini, Lopa mendapatkan tambahan dana untuk merenovasi rumahnya.
Dalam menjalani aktivitas sehari-hari, ia menggunakan mobil Toyota Kijang yang dibeli secara kredit. Selain dikenal jujur dan sederhana, Lopa juga melarang keluarganya untuk memanfaatkan fasilitas milik negara. Bahkan ia melarang istrinya menggunakan motor dinasnya yang hendak dipakai untuk pergi ke pasar.
Dilansir dari djpb.kemenkeu.go.id, Mar’ie Muhammad adalah Menteri Keuangan era Orde Baru. Karena kiprahnya yang dianggap bersih dan jujur, ia mendapat julukan Mr. Clean dari para jurnalis pada waktu itu.
Dia memberikan banyak kontribusi di Kementerian Keuangan. Selama menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak, ia dikenal sebagai sosok yang berani dan kebal suap, sehingga banyak pihak yang menjauh darinya.
Selain itu, ia juga berusaha meningkatkan efisiensi dan membersihkan institusi dari pegawai yang terlibat korupsi. Pada 17 Maret 1993, Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Pembangunan VI.
Ia berhasil mempertahankan integritasnya di tengah situasi pemerintahan dan birokrasi Orde Baru yang masih terpengaruh korupsi. Sebagai Menteri Keuangan, ia dengan tegas menolak adanya dana taktis dan anggaran perjalanan dinas yang dianggap terlalu besar.
Dia wafat di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Jakarta. Saat itu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD memiliki kesan yang mendalam terhadap Mar’ie Muhammad, yang dinilainya sebagai sosok yang sederhana dan tidak suka merepotkan orang lain.
Mahfud menyatakan, Mar’ie beberapa kali mengunjungi rumah dinasnya saat ia menjabat sebagai Ketua MK. Dalam kunjungan tersebut, dia membawa bungkusan nasi yang dimasak oleh istrinya, dengan alasan tidak ingin merepotkan orang lain.
Dalam pemerintahan RI, Agus Salim beberapa kali menjabat dalam kabinet, sebagai Menteri Muda Luar Negeri di Kabinet Sjahrir II (1946) dan Kabinet Sjahrir III (1947), serta sebagai Menteri Luar Negeri di Kabinet Amir (1947) dan Kabinet Hatta (1948-1949).
Berdasarkan catatan harian Prof Schermerhorn, pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggajati, Agus Salim adalah sosok yang sangat cerdas, bahkan jenius dalam bidang bahasa. Ia mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam sedikitnya sembilan bahasa. Namun, satu kelemahannya adalah kehidupannya yang melarat.
Dalam catatan M Roem, Keluarga Agus Salim pernah tinggal di Gang Lontar Satu di Jakarta. Untuk mencapai Gang Lontar Satu, harus masuk terlebih dahulu ke Gang Kernolong, lalu melanjutkan ke gang kecil lainnya. Bisa dibayangkan, tidak ada pejabat sekarang yang tinggal di gang yang terbilang sempit.
Ia tidak pernah memikirkan tentang rumah mewah dan megah. Setiap enam bulan sekali, ia memiliki kebiasaan untuk mengubah letak meja, kursi, lemari, hingga tempat tidur. Terkadang, ia bahkan menukar posisi kamar makan dengan kamar tidur.
Agus Salim berpendapat, dengan melakukan hal tersebut, ia dapat mengubah suasana lingkungan yang dibutuhkan manusia tanpa harus berpindah tempat atau rumah. Apalagi jika harus pergi beristirahat ke kota atau negara lain.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Distika Safara Setianda pada 07 Oct 2024
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 08 Okt 2024
Bagikan