Perayaan Imlek di Indonesia, Bukti Pluralisme Presiden Gus Dur

Selasa, 01 Februari 2022 12:55 WIB

Penulis:Herlina

Editor:Herlina

Capture.JPG
Pusat perbelanjaan yang menawarkan pernak pernik Imlek ramai dipadati pengunjung. (foto : istimewa)

BENGKULU,LyfeBengkulu.com-  Udah pada tahu belom bagaimana sejarah Imlek dirayakan di Indonesia ? Nah, tahun baru Imlek atau dikenal dengan tahun baru China atau Tionghoa, ini merupakan bukti dari pemikiran Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dus yang mengedepankan pluralisme dalam memimpin bangsa ini. Di masa kepemimpinnya,  Kiai NU ini mencabut larangan yang sebelumnya diterapkan Presiden Soeharto.

Apa itu ? Yap, ada 21 peraturan perundangan yang diterapkan  Soeharto terkait warga keturunan Tionghoa, ini mulai berlaku sejak Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) diterima  Soeharto. Konon, beliau mengeluarkan Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.

Berdasarkan Inpres tersebut, Soeharto menginstruksikan kepada menteri agama, menteri dalam negeri, dan segenap badan serta alat pemerintah di pusat dan daerah untuk melaksanakan kebijaksanaan pokok mengenai agama, kepercayaan, dan adat istiadat China. Jadi inti utama isinya itu, pelaksanaan Imlek hanya boleh dilakukan secara internal, atau dalam hubungan keluarga atau perseorangan saja. Nah loh. Nggak bisa ngeliat barongsai dong. 

So pasti, perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat China dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga. Akibatnya perayaan Imlek sembunyi-sembunyi. Nah sejak saat itulah aktivitas masyarakat Tionghoa, termasuk dalam perayaan tahun baru Imlek menjadi dibatasi. 

Selama berlakunya Instruksi Presiden tersebut, Imlek terlarang dirayakan di depan publik. Seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk tahun baru Imlek, Cap Go Meh dilarang dirayakan secara terbuka. Barongsai dan liang liong pun dilarang juga loh dipertunjukkan di publik.

Lagu dan huruf Mandarin dilarang

Tak hanya itu saja, pembatasan juga berlaku untuk huruf-huruf atau lagu Mandarin yang jelas tidak boleh diputar di radio. Alhasil dalam 32 tahun pemerintahan Soeharto, aktivitas perayaan sembunyi-sembunyi ini tetap berjalan.  Berdasarkan 21 peraturan perundangan yang berlaku saat itu, istilah "Tionghoa" lalu berganti menjadi "China". Kebijakan-kebijakan ini disebut sebagai upaya dalam proses asimilasi etnis.

Kembali bebas

Nah, era Presiden Habibie  pembatasan tersebut mulai surut tepatnya pasca-Reformasi. Meskipun masa jabatan Habibie relatif singkat, beliau sempat menerbitkan Inpres Nomor 26 Tahun 1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa.

Inpres tersebut salah satunya berisi tentang penghentian penggunaan istilah pribumi dan nonpribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kemudian, pada tanggal 17 Januari 2000, Gus Dur mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2000 yang isinya mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang dibuat Soeharto saat masa pemerintahannya.

Sejak saat itu lah, Imlek dapat diperingati dan dirayakan secara bebas oleh warga Tionghoa. Kebijakan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Presiden Megawati dengan Keppres Nomor 19 Tahun 2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional.

Imlek zaman pendudukan Jepang

Sebenarnya, jauh sebelum Gus Dur,  pada zaman pendudukan Jepang, imlek tahun 1943 dijadikan sebagai hari libur resmi. Penetapan itu termaktub dalam Keputusan Osamu Seirei No 26 tanggal 1 Agustus 1943. Inilah pertama kali dalam sejarah Tionghoa di Indonesia, di mana Imlek menjadi hari libur resmi.

Zaman kemerdekaan

DI masa awal revolusi, Pemerintah Republik Indonesia juga mengizinkan perayaan tahun baru China oleh masyarakat Tionghoa. Presiden Soekarno mengeluarkan maklumat boleh mengibarkan bendera kebangsaan Tiongkok dalam setiap hari raya bangsa Tionghoa. Pada tahun ajaran 1946/1947, tiga hari raya Tionghoa (Imlek, wafatnya nabi Konghucu, dan Tsing Bing) dijadikan hari libur resmi. (**)