BPJS kesehatan
Kamis, 27 Januari 2022 13:49 WIB
Penulis:Herlina
Editor:Herlina
JAKARTA,LyfeBengkulu.com - Pemerintah melalui Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) berencana mengimplementasikan ketentuan rawat inap peserta BPJS Kesehatan menjadi satu kelas mulai tahun 2023.
Dengan demikian, pembagian kelas rawat inap yang terdiri dari tiga kelas sebelumnya (Kelas 1, 2, dan 3) resmi dihapus.
"Di 2023, implementasi secara bertahap di Rumah Sakit Umum Daerah dan rumah sakit swasta berdasarkan kriteria KRIS JKN," ujar Anggota DJSN Iene Muliati dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, Selasa, 25 Januari 2022 seperti dilihat di Youtube Komisi IX DPR RI Channel.
Dia menjelaskan bahwa dengan menghapus klasifikasi kelas layanan, maka akan ada satu kelas standar atau kelas rawat inap standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN) untuk peserta BPJS Kesehatan mulai tahun depan.
Implementasi KRIS JKN berlandaskan pada ketentuan peraturan Undang-Undang, seperti UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Perumahsakitan dan Perpres No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Iene menambahkan, KRIS JKN ini bukan untuk mengurangi defisit BPJS Kesehatan melainkan untuk memenuhi mutu dan standardisasi layanan dan prinsip ekuitas. Dengan KRIS JKN, semua orang berhak mendapatkan pelayanan baik medis maupun non medis yang sama dan setara.
Yang paling utama adalah keselamatan pasien dan standar pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) di masyarakat.
"Kita masih menemukan ada tantangan terkait pemenuhan prinsip ekuitas dimana klasifikasi kelas perawatan yang ada di beberapa daerah belum terstandar, dan akses ke fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan obat belum merata," papar Iene.
Dia menerangkan bahwa pihaknya juga telah melakukan konsultasi publik dan penilaian sendiri (self assesment) terhadap banyak rumah sakit baik rumah sakit umum maupun TNI/Polri.
Konsultasi dan penilaian itu melibatkan akademisi, lembaga riset, asosiasi faskes, kelompok masyarakt sipil dan peserta penerima manfaat, serta Pemda.
Dari hasil penilaian itu, ditemukan bahwa mayoritas rumah sakit mampu memenuhi 12 kriteria penerapan KRIS JKN dan beberapa lainnya memerlukan penyesuaian.
"Kegiatan ini kami lakukan untuk memahami kesiapan faskes baik di pusat maupun di daerah dan kami mencoba memotret sebetunya bagaimana pnadangan akademisi dan juga masyarakat terhadap usulan KRIS JKN ini," terang Iene.
Mulai tahun ini, kata Iene, ada sejumlah persiapan yang akan dilakukan pemerintah terkait implementasi KRIS JKN tahun depan.
Pertama, penyiapan peraturan pelaksana dan uji coba publik. Kedua harmonisasi atau revisi peraturan pelaksana terkait. Ketiga, pemetaan dan uji coba KRIS JKN bersama dengan Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan. Keempat, penyiapan infrastruktur di rumah sakit yang perlu perbaikan atau penyesuaian. Kelima, melakukan sosialisasi, edukasi dan avokasi terkait KRIS JKN.
Kemudian, DJSN juga akan melakukan implementasi secara di rumah sakit vertikal dan terakhir melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala.
"Ini bisa melihat apakah penahapan yang nanti dicanangkan sudah sesuai atau masih perlu perbaikan atau disesuaikan dengan kondisi di daerah dan juga di lapangan," terang Iene.
Setelah tahap persiapan dan uji coba secara bertahap, dia berharap implementasi penyetaraan kelas rawat inap peserta BPJS Kesehatan ini bisa diterapkan secara menyeluruh pada tahun 2024.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR RI Elva Hartati menyarankan agar sebelum diterapkan, KRIS JKN dapat diuji cobakan dulu di beberapa wilayah. Pasalnya, KRIS dapat memperuncing diskriminasi dan malah menurunkan mutu layanan kesehatan.
"Karena misalnya kelas 1 hanya ada dua bed, sekarang jadi 4 bed. Sebaiknya KRIS dilakukan uji coba saja dulu di beberapa wilayah dalam implementasinya. Selama kelas rawat inap non JKN masih tetap ada dan notabenenya masih ada VIP sampai dengan President Suite yang tentu saja berbeda dengan JKN, maka diskriminasi tetap akan ada juga berpotensi akan menimbulkan kegaduhan juga," katanya.
Anggota Komisi IX DPR RI Arzetti Bilbina menambahkan bahwa ketersediaan kamar rawat inap bagi pasien BPJS Kesehatan yang sesuai dengan kelasnya, banyak dikeluhkan peserta.
"Kalau kita lihat di lapangan, banyak sekali pasien yang tidak mendapat kamar inap sesuai dengan kelasnya. Artinya, kalau mereka ter-cover di kelas I, namun di RS hanya tersedia kamar kelas II. Ataupun sebaliknya, kalaupun mereka ter-cover di kelas II, ternyata di RS yang ada kamar kelas I. Biasanya seperti itu yang disampaikan kepada pasien," ungkapnya.
Kondisi tersebut, kata dia, akan sangat merugikan pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan. Apalagi ketika ada masyarakat yang sampai melakukan down grade kepesertaan demi mendapatkan layanan kesehatan.
Masyarakat tersebut tidak akan pernah mendapatkan hak atas fasilitas kesehatan sesuai dengan iuran yang sudah dikeluarkan setiap bulannya.
Dirinya menyayangkan fakta bahwa ada masyarakat yang tiap bulannya rajin dan tidak pernah terlambat apalagi menunggak untuk membayar iuran BPJS Kesehatan, namun tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai karena alasan ketersediaan kamar rawat inap.
Arzetti berharap agar pihak BPJS Kesehatan bekerja sama dengan pihak rumah sakit meningkatkan mutu dalam semua pelayanannya. Jangan sampai ada anggapan bahwasanya pasien BPJS Kesehatan pelayanannya dinomorduakan jika dibandingkan dengan asuransi kesehatan yang dikelola oleh swasta.
"Karena kita di sini inginnya BPJS Kesehatan menjadi bintang asuransi kesehatan. Menjadi perhatian penting bagi kita semua untuk memperbaiki mutu pelayanan agar BPJS kesehatan bisa bersaing penuh dengan asuransi swasta," tandasnya. (**)
Bagikan