G20, Momentum Indonesia Berkontribusi Dorong Aksi Strategis Atasi Perubahan Iklim

Herlina - Rabu, 22 Juni 2022 11:15 WIB
Stiker protes terkait G20 (foto : Markus Spiske/unsplash.com)

JAKARTA,LyfeBengkulu.com – Perhelatan G20 menjadi momentum untuk mengatasi dampak krisis iklim yang semakin nyata. Pemerintah diharapkan dapat menghasilkan aksi strategis untuk memitigasi perubahan iklim dari G20.

Beragam dampak krisis iklim dapat dilihat dengan peningkatan suhu udara di atas rata-rata di beberapa wilayah Indonesia terjadi selama beberapa bulan terakhir. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) hasil analisis pengukuran suhu permukaan pada 92 stasiun BMKG selama 4 dekade terakhir memperlihatkan kenaikan suhu permukaan dengan laju bervariasi.

Sementara itu, wilayah Indonesia bagian barat dan tengah mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Mulai dari laju kenaikan suhu udara permukaan di wilayah Jakarta dan sekitarnya sebesar 0.40 - 0.470C per dekade, lalu Sumatera bagian timur, Jawa bagian utara, Kalimantan dan Sulawesi bagian utara mengalami tren kenaikan > 0.30C per dekade2 .

BMKG menekankan bahwa penyebab dari peningkatan suhu udara adalah faktor klimatologis yang dampaknya dipengaruhi oleh fenomena atmosfer. Analisis big data BMKG juga memprediksikan tren peningkatan suhu udara bisa mencapai meningkat hingga 0.50C pada tahun 2030.

Akibat tren kenaikan suhu ini, maka potensi kekeringan akan meningkat sebesar 20% dan hujan lebat hingga ekstrem juga meningkat sampai 40%.

Melihat fakta di lapangan dan data BMKG, WALHI berpendapat bahwa pemerintah memiliki peran kunci untuk menghentikan kegiatan alih fungsi lahan agar tidak terjadi deforestasi. Karena deforestasi bisa menyebabkan peningkatan emisi karbon yang berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.

“Kami menuntut agar pemerintah tidak lagi mengeluarkan izin baru di kawasan hutan. Izin baru ini bisa mengubah fungsi hutan menjadi lahan pertambangan, perkebunan kelapa sawit, atau hutan tanaman industri (HTI),” tutur Uslaini Chaus, Kepala Divisi Perlindungan dan Pengembangan Wilayah Kelola Rakyat Eksekutif Nasional WALHI.

“Kami juga mempertanyakan pengalihan fungsi lahan menjadi food estate. Membangun ketahanan pangan tidak bisa dengan cara mengorbankan kawasan hutan yang menjadi sumber penghidupan banyak masyarakat lokal dan adat serta ekosistem satwa dan fauna, tetapi dengan intensifikasi lahan pertanian yang ada," tambah Chaus.

WALHI mendukung pembuatan kebijakan untuk mencapai nol deforestasi, serta mendorong penegakan hukum terhadap perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari pembukaan lahan tersebut. Perusahaan wajib untuk mencari area pengganti kawasan hutan yang mereka eksploitasi. Misalnya, perusahaan pertambangan wajib melakukan kegiatan reklamasi pascapenambangan.

Pendapat yang sama tentang kewajiban perusahaan dikemukakan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan. “Perusahaan memiliki peran penting dalam upaya menuju nol deforestasi, yaitu dengan mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan dan penghormatan HAM dalam kegiatan operasionalnya. Dengan demikian, kegiatan perusahaan perlu diregulasi agar bisa mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan tersebut,” ujar M. Teguh Surya, Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan.

Teguh menyatakan bahwa pasar global sudah berubah, di mana konsumen global memiliki kesadaran lebih besar dalam memilih produk yang mengedepankan prinsip berkelanjutan. Bahkan produsen pun akhirnya didorong untuk mengakomodasi kebutuhan pasar tersebut dengan mengganti sumber bahan mentah dari rantai pasok yang mengadopsi prinsip berkelanjutan.

Sebuah penelitian terbaru dari Accountability Framework Initiative (AFI) dan CDP3 , perusahaan diprediksi bisa merugi hingga USD 80 miliar, jika tidak mengatasi risiko deforestasi pada rantai pasoknya.

“Persaingan di pasar global ini memang sangat ketat, sehingga bisnis tidak punya pilihan selain bertransformasi agar bisa menyesuaikan dengan kondisi pasar. Sekarang tinggal melihat sejauh mana komitmen pemerintah dalam mengedepankan keberlanjutan ini. Terutama di tengah Presidensi G20 Indonesia, seharusnya pemerintah bisa membuktikan kontribusinya dalam prinsip berkelanjutan dengan mendorong implementasi nyata menuju nol deforestasi,” kata Teguh Surya.

Mengenai sorotan dunia kepada Indonesia sebagai Presidensi G20, Edvin Aldrian, Profesor Meteorologi dan Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sepakat agar Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini dengan baik. “Dengan posisi sebagai Presidensi G20, saya berharap Indonesia bisa mendorong pergerakan bilateral untuk nol deforestasi, pemanfaatan energi berkelanjutan, dan hal-hal lain yang menjadi permasalahan global,” kata Prof. Edvin, yang juga menjabat sebagai Intergovernmental Panel on Climate Change WG 1 Vice Chair.

Lebih jauh, Prof. Edvin ingin mendorong pemanfaatan sumber energi terbarukan dari matahari, angin, dan gelombang di laut. “Saya bermimpi suatu saat nanti perusahaan di Indonesia akan bertransformasi. Misalnya, Pertamina berubah fungsi menjadi perusahaan energi yang terbarukan. Menurut saya, sudah saatnya perusahaan mengubah model bisnisnya agar menjadi lebih berkelanjutan,” tutup Prof. Edvin. (bth/rls)

Editor: Herlina
Tags g20Krisis iklimBagikan

RELATED NEWS