Bengkulu, Kota Pusaka di Bibir Samudera

Herlina - Kamis, 02 Juni 2022 21:46 WIB
Benteng Marlborough dibangun untuk menghadapi ancaman-ancaman baik dari Banten, Belanda maupun dari pribumi sendiri sekaligus sebagai pusat perdagangan. (foto :ist/sofian rafflesia)

DAHULU, Bengkulu memiliki Kerajaan-kerajaan kecil (kerajaan sungai serut, kerajaan sungai lemau dan lainnya) yang dipengaruhi kerajaan-kerajaan besar seperti kerajaan Makasar dan Kerajaan Banten (Jawa Barat) dan pada waktu itu mulai masuk pengaruh-pengaruh dari barat antara lain Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Pada waktu itu Bengkulu dipimpin oleh Raja-Raja kecil.

Sekitar abad ke-17, Bengkulu berada ditengah-tengah persaingan berbagai kerajaan besar yaitu Kerajaan Aceh, Kerajaan Malaka, Kerajaan Makasar dan Kerajaan Banten. Waktu itu Bengkulu dibawah proteksi Kerajaan Banten sehingga dalam sistem pemerintahan di Bengkulu ada perwakilan Raja Banten yang di kenal dengan sebutan Jenang Banten. Jenang Banten berperan sebagai penengah antara Pribumi Bengkulu dan Inggris. Jenang Banten yang tinggal di Bengkulu dan cukup di kenal yaitu bernama Pangeran Natadirja.

Masyarakat pribumi bengkulu kala itu sudah menjalin hubungan baik dengan masyarakat Bugis. Orang Bugis adalah pelayar, mereka sering singgah dan menjadi tamu di Bengkulu sehingga akhirnya bermukim bersama masyarakat pribumi Bengkulu. Banyak sekali daerah di Bengkulu ini yang berasal dari Bahasa Bugis, di antaranya : Manna berasal dari bahasa Bugis yang berarti Cerano/tempat sirih. Talo adalah nama sebuah kerajaan di bugis.

Hubungan yang terjalin antara rakyat propinsi Bengkulu dengan Inggris sudah berjalan sejak lama, yakni sejak abad ke-17. Pada tahun 1682, Belanda (VOC) mampu mengungguli The Honourable East India Company (EIC), khususnya setelah tercapai kesepakatan antara VOC dengan kerajaan Banten mengenai monopoli perdagangan rempah-rempah. Hal ini memaksa EIC keluar dari Jawa dan harus mencari tempat pangkalan baru yang secara politik dan militer dapat menguntungkan mereka dalam perdagangan rempah-rempah.

Pada awalnya mereka berkeinginan untuk mendirikan perusahaan dagang di Aceh, namun keinginan ini ditolak oleh Ratu Aceh, Sultana Zaqiyat-ud-udin Inayat Shah. Penolakan ini membuat EIC berpaling ke wilayah lain yang bersedia untuk menerima mereka, yakni Pariaman dan Barus di Sumatera Barat. Keinginan kedua wilayah ini untuk menerima EIC didorong oleh ketakutan terhadap kekuatan Belanda yang sangat agresif.

Namun pada akhirnya pilihan EIC jatuh kepada Bengkulu, ada dua versi catatan sejarah yang menyebabkan terjadinya perubahan pilihan ini, yakni menurut buku Bencoolen: A History of the Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra (1685 – 1825), yang ditulis oleh Alan Harfield (1995), perubahan ini disebabkan adanya surat permintaan dari para penguasa di Bengkulu yang mereka terima dua hari menjelang keberangkatan utusan EIC (Ord dan Cawley) dari Madras menuju Pariaman.

Sedangkan menurut buku Bengkulu dalam Sejarah, yang ditulis oleh Firdaus Burhan (1988), perubahan ini disebabkan oleh kesalahan navigasi dalam pelayaran dari Madras menuju Pariaman dan adanya permintaan dari para penguasa Bengkulu setelah utusan EIC tersebut mendarat di Bengkulu.

Terlepas dari adanya perbedaan di atas, sejarah mencatat bahwa Inggris (EIC) pada akhirnya bercokol di Bengkulu dan rakyat Bengkulu menerima kehadiran mereka. Setibanya mereka di Bengkulu pada tahun 1685, pihak Inggris disambut oleh petinggi Bengkulu pada masa itu, yakni Orang Kaya Lela dan Patih Setia Raja Muda. Dalam beberapa pertemuan selanjutnya pihak Inggris memperoleh izin untuk mendirikan faktori di Bengkulu dan menjalin hubungan dagang dengan para penguasa Bengkulu. Pangkalan pertama yang didirikan oleh Inggris di Bengkulu adalah Fort York. Sejak saat itu Inggris menamakan faktori dagang mereka di Bengkulu sebagai Garnizun EIC di Pantai Barat pulau Sumatera (The Honourable East India Company’s Garrison on the West Coast of Sumatra).

Nah, ini dia warisan sejarah yang ada di Provinsi Bengkulu dan diantaranya dikelola oleh BPCB Jambi

Benteng Marlborough

Pada tahun 1714 kondisi Fort York menjadi kritis. Bangunan benteng dan barak-barak telah semakin rapuh, dan air hujan secara terus-menerus membasahi ruangan-ruangan tempat tinggal para penghuni. Selain itu, kondisi bahan makanan yang dikonsumsi oleh tentara Inggris sangat buruk sehingga disiplin para prajurit dan pegawai benteng menjadi turun. Berbagai macam penyakit, umumnya disentri dan malaria, telah menyebabkan sebagian besar prajurit garnizun tidak dapat melaksanakan tugas mereka.

Joseph Collet yang menjadi pimpinan Garnizun di Bengkulu pada tahun 1712 menarik kesimpulan bahwa Fort York membutuhkan perbaikan-perbaikan besar dan lokasi benteng itu sebenarnya tidak tepat. Oleh sebab itu pada tanggal 27 Februari 1712, Joseph Collet menulis surat kepada Dewan Direksi EIC yang mengusulkan agar membangun benteng baru di tempat yang disebut Carrang. Lokasi Carrang yang diusulkan oleh Joseph Collet terletak sekitar dua mil dari Fort York (orang Bengkulu menyebutnya Ujung Karang). Usul Joseph Collet untuk membangun benteng baru disetujui oleh Dewan Direktur EIC dan pembangunan benteng baru tersebut dimulai pada tahun 1714.

Benteng baru yang dibangun di Carrang diberi nama Marlborough. Nama ini dipilih oleh Joseph Collet untuk menghormati John Churchill, seorang komandan ternama Inggris yang pernah memenangkan pertempuran di Blenheim pada tahun 1704, Rammilies pada tahun 1706, Oudenarde pada tahun 1708, dan Malplaquet pada tahun 1709. Atas jasa-jasanya ini John Churchill kemudian diberi gelar Duke of Marlborough. Benteng baru yang dibangun oleh Joseph Collet ini kemudian dikenal dengan nama Fort Marlborough. Pembangunan Fort Marlborough selesai seluruhnya pada tahun 1741.

Benteng Marlborough dibangun untuk menghadapi ancaman-ancaman baik dari Banten, Belanda maupun dari pribumi sendiri sekaligus sebagai pusat perdagangan. Benteng Marlborough dibuat dengan arsitektur yang sangat kokoh dan dengan ukuran terbesar dan benteng terkuat Inggris ke-2 di Asia setelah Benteng St. George Madras India.

Benteng ini pernah dibakar oleh Rakyat Bengkulu ketika hampir selesai di bangun yang dipimpin oleh Pangeran jenggalu, sehingga penghuninya orang-orang inggris terpaksa mengungsi ke Madras india. Penyerangan ini terjadi karena Rakyat Bengkulu merasa dirugikan oleh pihak Inggris. Setelah keadaan aman, pemerintah Inggris yang diwakili oleh Gubernur Joseph Walsh datang kembali ke Bengkulu dan membuat perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1724 dengan pihak Kerajaan Sungai Lemau. Tahun 1793, serangan kembali dilancarkan. Pada insiden ini seorang opsir inggris, Robert hamilton, tewas.

Keberadaan Benteng Marlborough di Bengkulu kala itu tidak membuat hubungan Inggris dan masyarakat Pribumi terpisah, tetapi diatur oleh batas-batas hukum. Untuk warga Inggris sendiri mereka menggunakan hukum inggris sedangkan untuk pribumi bengkulu menggunakan hukum adat bengkulu yang tidak pernah berubah sejak zaman dahulu.

Kehadiran Inggris di Bengkulu berlangsung selama 140 tahun, yaitu dari tahun 1685 sampai dengan bulan Maret 1825, ketika seluruh kekuatan Inggris meninggalkan Bengkulu. Berakhirnya kehadiran Inggris di Bengkulu adalah disebabkan adanya perjanjian antara Raja Inggris dan Raja Belanda, yang ditanda-tangani pada tanggal 17 Maret 1824. Perjanjian ini oleh pihak Inggris disebut The Anglo-Dutch Treaty of 1824, sedangkan pihak Belanda menyebutnya sebagai Traktat London. Perjanjian ini mengatur pertukaran kekuasaan Inggris di Bengkulu dengan kekuasaan Belanda di Melaka dan Singapura (Singapura pada masa itu merupakan bagian dari kerajaan Melaka).

Pada tahun 1825-1942, Belanda menduduki Bengkulu dan membuat sebuah kantor perdagangan rempah-rempah yang bernama VOC (East India Company) pada tahun 1883. Pada tahun 1938, Soekarno Presiden Pertama RI ditahan sementara di Benteng Marlborough untuk diinterogasi.

Di Benteng ini terdapat Ruang bawah tanah yang dahulunya digunakan untuk menyimpan bahan makanan. Benteng ini menjadi pusaka yang sangat berharga bagi Bengkulu dimana sekarang mampu menarik wisatawan dari Eropa maupun mancanegara lainnya.

Rumah Kediaman Gubernur Jenderal Inggris (Raffles Mansion, sekarang menjadi Rumah Gubernur Bengkulu)

Ada kesepakatan antara pribumi Bengkulu dan Inggris, bahwa Inggris tidak boleh mengotak-atik hukum adat Bengkulu yang ketika itu dikenal dengan “simbur cayo”. Simbur cayo menjadi salah satu penyebab terbunuhnya Thomas Parr karena ia mencoba mengubah hukum adat tersebut sehingga menimbulkan kemarahan yang sangat besar dari pemimpin pribumi Bengkulu yang berakibat pemberontakan besar-besaran.

Pemberontakan besar-besaran merupakan kerjasama pemimpin pribumi Bengkulu dengan masyarakat pendatang yaitu warga Bugis dan juga Banten. Penyerangan dilakukan di rumah kediaman gubernur jenderal Inggris pada malam hari.

Thomas Parr merupakan gubernur jenderal inggris di Bengkulu yang memiliki sikap kasar, sehingga sangat dibenci oleh masyarakat bengkulu dan juga orang inggris itu sendiri. Thomas Parr di serang di rumahnya dan akhirnya terbunuh bersama asisten pribadinya Kapten Charles Murray pada tahun 1807. Anak-anak dan perempuan Inggris yang ada di kediaman tersebut diamankan dan tidak di bunuh tetapi di suruh masuk ke bawah tempat tidur.

Pada waktu Thomas Stamford Raffles datang tahun 1818 menjabat sebagai gubernur jenderal inggris yang baru, rumah kediaman gubernur jenderal inggris belum dapat di tempati karena sedang di rehabilitasi akibat gempa bumi yang melanda Bengkulu. Sehingga waktu itu Raffles sempat menyebut Bengkulu sebagai kota mati karena hampir seluruh bangunan yang ada di Bengkulu roboh.

Monumen Hamilton

Monumen hamilton di bangun untuk mengenang seorang opsir inggris, Robert hamilton yang tewas pada insiden penyerangan pihak Kerajaan Sungai Lemau ke Benteng Fort Marlborough pada tahun 1793.

Monumen Parr

Di Bengkulu pada tahun 1808 dibangun sebuah monumen atau tugu peringatan bagi bangsa Inggris. Monumen ini disebut oleh orang-orang Bengkulu dengan istilah Kuburan Bulek (kuburan Bulat). Nama sebenarnya dari Kuburan Bulek ini adalah monumen Parr (Parr Monument). Monumen ini dibuat oleh Inggris untuk mengenang pengalaman pahit bangsa Inggris karena di tempat itu dikuburnya Thomas Parr bersama seorang asistennya yang terbunuh dalam satu insiden dengan rakyat Bengkulu pada malam tanggal 27 Desember 1807.

Pembunuhan terhadap Thomas Parr ini disebabkan oleh akumulasi rasa tidak puas rakyat Bengkulu terhadap kebijaksanaan yang ditempuh oleh penguasa Inggris. Kebijaksanaan Parr yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pribumi, antara lain pemberlakuan tanam paksa kopi dan pengubahan yang besar dalam peradilan pribumi tanpa persetujuan dan tanpa meminta nasihat dari para Kepala Adat Rakyat Bengkulu.

Kampung Kepiri, Kampung Keling dan Kampung Cina

Pada masa Inggris di Bengkulu, ada beberapa kelompok masyarakat yang datang ke Bengkulu yang dibawa oleh inggris yaitu masyarakat keturunan India, Cina dan juga Afrika. Keturunan India langsung datang dari Madras sedangkan Cina dari dari Malaka dan Singapura. Kelompok masyarakat tersebut bermungkim di sekitar Benteng Marlborough.

a. Kampung Kepiri

Masyarakat keturunan India yang non muslim ditempatkan di dekat kawasan benteng Marlborough yang dikenal dengan kampung Kepiri, kepiri sendiri berasal dari kata Kepir/kafir karena mereka suka minum tuak dan makan daging Babi . Kelompok masyarakat keturunan India ini merupakan pekerja kasar/budak yang dibawa Inggris dari Madras India untuk membangun Benteng.

b. Kampung Keling
Kampung Keling disiapkan untuk Orang India yang muslim dan juga Orang Afrika, mereka juga merupakan pekerja untuk membangun benteng.

c. Kampung Cina
Orang Cina sebagai pendatang mereka juga adalah pedagang, mereka butuh perlindungan dari Inggris sehingga oleh inggris kawasan mereka diatur menjadi 2 yaitu sebelah kiri etnis china dengan atap-atap klentengnya dan sebelah kanan etnis Eropa dengan bangunan berlonteng diatasnya.

Inggris sengaja membuat kampung-kampung untuk mereka supaya mereka masing-masing punya kawasan sendiri yang dapat menghidupkan ekonomi disekitaran benteng Marlborough dan juga untuk keamanan mereka agar tidak terjadi konflik di antara mereka.

Masyarakat pribumi asli bengkulu, Bugis maupun Banten tidak ada yang menjadi pekerja kasar dalam pembangunan benteng Marlborough.

Bangsa Inggris bisa dibilang sebagai penjajah paling lunak di seluruh dunia. Proses mereka bergaul dengan masyarakat pribumi itu sangat bagus. Mereka meniru beberapa kebiasaan masyarakat pribumi yang menurut mereka bagus dan masyarakat pribumi pun juga bisa belajar dari mereka.

Makam Inggris

Selama 140 tahun berada di Bengkulu, orang-orang Inggris banyak yang meninggal dunia. Kematian orang-orang Inggris tersebut kebanyakan disebabkan oleh serangan penyakit malaria dan disentri, dan tewas dalam konflik-konflik dengan rakyat Bengkulu. Orang-orang Inggris yang meninggal di Bengkulu pada masa itu tercatat sebanyak 709 orang.

Apabila diambil angka rata-rata maka selama 140 tahun 5 orang Inggris yang meninggal setiap tahunnya. Sebagian dari orang-orang Inggris tersebut dimakamkan di pemakaman Inggris di Jitra, Bengkulu. Salah satu anak dari Gubernur Jenderal inggris Rafflesia juga dimakamkan disini. Ketika di Zaman pendudukan Belanda, makan ini juga di gunakan untuk makam mereka.

Makam Sentot Ali Basa

Setelah inggris, 1830-an Terjadi Perang Paderi di Minangkabau Sumatera barat, di mana Kaum Paderi berjuang melawan Belanda. Dalam waktu yang bersamaan juga di jawa terjadi perang di Ponegoro.

Panglima di Ponegoro Sentot Ali Basa berhasil ditangkap oleh belanda dan kemudian diangkat menjadi Perwira Belanda kemudian di kirim ke Sumatera Barat untuk membantu Belanda memerangi Paderi.

Sampai di Sumatera Barat, Sentot Ali Basa akhirnya berbalik membantu kaum Paderi melawan belanda. Perang paderi pun akhirnya dimenangkan oleh belanda. Para pemimpin Paderi baik yang orang padang/minang maupun yang dari Jawa termasuk Sentot Ali Basa di buang ke Bengkulu. Mereka kaum Paderi menapakkan kaki pertama kali di pelabuhan dekat Benteng Marlborough yang akhirnya dikenal dengan nama Tapak Paderi. Tugu Monumen Tapak Paderi merupakan tempat pertama kali kaum paderi menapakkan kakinya di Bengkulu.

Belanda menyiapakan kawasan pemukiman untuk kaum paderi yang terbuang di Bengkulu yang dikenal dengan Tengah Padang. Belanda pun membagi 2 kawasan tersebut, pertama untuk orang padang asli dan kedua utk pengikut sentot ali basa (jawa) yang dikenal dengan sebutan raden (sentot).

Sentot Ali Basa pun wafat di Bengkulu dan dimakamkan dikawasan Tengah Padang Bengkulu.

Rumah Bung Karno

Pada zaman penjajahan Belanda, Presiden pertama RI, Ir. Soekarno di asingkan ke Bengkulu. Belanda pun menyiapakan rumah untuk tempat tinggal Bung Karno selama pengasingannya di Bengkulu, rumah ini sebelumnya merupakan milik warga tionghoa (Cina).

Masjid Jamik

Selama masa pengasingannya di Bengkulu, Bunga Karno sempat merancang masjid di Bengkulu yang terkenal dengan nama masjid Jamik. (Sofian Rafflesia)

Editor: Herlina

RELATED NEWS