Dorong Realisasi Undang-Undang TPKS di Bengkulu
BENGKULU, LyfeBengkulu.com- Yayasan PUPA, Forum Pengada Layanan, dan Asian Community Trust (ACT) mendorong realisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dalam penanganan kasus kekerasan seksual di Bengkulu.
Direktur Yayasan Pusat Pendidikan Untuk Perempuan dan Anak (PUPA), Susi Handayani mengatakan Undang-Undang TPKS telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada 9 Mei 2022 serta diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2022 nomor 120. Namun hingga saat ini belum terdengar gaungnya dalam upaya penanganan dan pemberantasan kekerasan seksual, khususnya di Bengkulu.
Apalagi kata Susi, lembaga negara yang bertugas mensosialisasikan produk hukum yang mereka hasilkan juga kurang dalam memberikan literasi tersebut kepada masyarakat.
"Memang sejak disahkannya Undang-Undang TPKS sampai sekarang sosialisasinya masih sangat rendah," ungkap Susi, saat menggelar konferensi pers bersama UPTD PPA Kota Bengkulu, Cahaya Perempuan WCC, PKBHB, LBH Bintang Keadilan dan Sakti Peksos di Bencoolen Coffe, Jumat (25/11)
Susi mengungkap saat ini kekerasan terhadap perempuan di Bengkulu sangat tinggi. Di mana 50 persennya adalah kekerasan seksual dari berbagai bentuk mulai dari pelecehan, perkosaan, pencabulan hingga kekerasan seksual berbasis gender online (KBGO) dan kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).
Sementara Undang-Undang TPKS sendiri belum dilakukan sosialisasi secara masif. Bahkan menurutnya, aparat penegak hukum (APH) khususnya di Bengkulu belum memahami Undang-Undang TPKS tersebut.
"Tantangannya bagaimana saat kekerasan seksual terjadi, temen-temen bisa mendorong aparat dalam penanganannya sesuai dengan Undang-Undang TPKS, sementara mereka sendiri belum memahami itu," ujar Susi.
Ada enam elemen kunci dalam UU TPKS, pertama Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kedua Sanksi dan Tindakan, ketiga Hukum Acara Tindak Pidana Kekerasan Seksual dari pelaporan sampai dengan pelaksanaan putusan, keempat Hak Korban atas perlindungan, penanganan dan pemulihan,
Kemudian kelima Pencegahan, dan keenam Koordinasi dan Pemantauan, termasuk di dalamnya adalah peran serta masyarakat dan keluarga dalam pencegahan dan penanganan TPKS.
Materi muatan UU TPKS diharapkan menjadi landasan hukum dan kerja dari aparat penegak hukum, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dalam mencegah segala bentuk kekerasan seksual.
Baik untuk menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, membangun lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin tidak terulang kekerasan seksual.
Akan tetapi koordinasi lintas sektoral seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang TPKS, tidak secara otomatis membuat seluruh stakeholder terkait saling bekerjasama.
"Ketika kita pelajari lagi Undang-Undang TPKS ini, untuk urusan pemutusan akses dan penghapusan konten itu masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat," kata Susi.
Sepanjang tahun 2022 kasus KBGO terutama KSBE yang melapor ke lembaga layanan di Bengkulu cukup tinggi. Seperti yang masuk di Hotline PUPA dan Mela Lapor. Bila di tahun 2021 hanya ada 2 kasus maka tahun 2022 ada 13 kasus. Kemudian SAKTI PEKSOS telah mendampingi 6 kasus KSBE, dan Cahaya Perempuan WCC mendampingi 1 kasus KBGO.
Untuk itu, saat ini pihaknya bersama dengan lembaga lain, yaitu PUPA bersama UPTD PPA Kota Bengkulu, Cahaya Perempuan WCC, PKBHB, LBH Bintang Keadilan dan Sakti Peksos telah melakukan penandatangan kerjasama dalam upaya penangan kasus kekerasan seksual hingga pendampingan pasca penanganan kasus di Kota Bengkulu.
Selain itu, juga diperlukan percepatan akses pelaporan bagi masyarakat yang menjadi korban kekerasan seksual di tengah perkembangan arus teknologi dan informasi.
Untuk itu PUPA telah menyediakan layanan pengaduan berbasis aplikasi yang bisa diunduh di play store khusus pengguna android yang saat ini masih dalam tahap uji coba yang bernama Mela Lapor.
"Mela Lapor ini kita khususkan untuk KBGO dan KSBE, jika kasus lain bisa ke Aplikasi Lapor," terang Susi.
Akan tetapi, untuk mengintegrasikan layanan pengaduan dengan Pemerintah, saat ini pihaknya sedang dalam penjajakan dengan Pemerintah Kota yang telah memiliki layanan pengaduan 112.
Walaupun selama ini baru digunakan untuk layanan darurat seperti kebakaran, pencurian, bencana, kecelakaan atau yang lainnya.
Harapannya dengan adanya kerjasama ini, pelapor melalui layanan milik Pemkot ini bisa dihubungkan melalui aplikasi Mela Lapor atau langsung ke lembaga layanan yang ada di Kota Bengkulu.
"Makanya kita bekerjasama dengan Kominfo Kota yang sudah layanan pengaduan, kemarin kita sudah mencoba berkoordinasi apakah memungkinkan untuk layanan kekerasan perempuan," sambung Susi.
Selain dengan Pemkot, Susi memastikan akan mengkaji juga layanan pengaduan milik Kementerian PPA dengan nomor 129, Sehingga nantinya layanan pengaduan kekerasan seksual terintegrasi dari Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah.
- Kementerian ESDM Paparkan Progres Terbaru Bioetanol
- Apa Itu Reflasi, "Momok" Perekonomian 2023
- Pensiun Dini PLTU Mahal, Pulau Jawa Butuh Rp314 Triliun
Dia juga meminta agar Pemerintah Daerah, khususnya pemerintah daerah di Bengkulu juga menyediakan layanan rumah aman bagi korban kekerasan seksual.
"Di Bengkulu memang belum ada rumah aman, makanya korban KDRT di Kota khususnya kita bingung mau ditempatkan di mana," tutup Susi. (mb)