Fenomena Virtual Idol: Babak Baru dalam Industri K-Pop Modern

Redaksi Daerah - Jumat, 31 Oktober 2025 13:36 WIB
Saat Idol Virtual Merebut Panggung, Ke Mana Arah Industri K-Pop?

JAKARTA – Dulu dianggap sebagai bagian kecil dari subkultur, kini para idol virtual telah berhasil menarik massa besar, mengisi stadion, menembus puncak tangga lagu, dan perlahan menempatkan diri di pusat perhatian industri K-pop, semua itu berkat dukungan miliaran dolar dan kemajuan teknologi.

Berdasarkan laporan lembaga riset pasar Global Information, nilai gabungan pasar idol virtual dan YouTuber virtual diprediksi melonjak dari US$1,08 miliar pada 2023 menjadi US$4,04 miliar pada 2029.

Fenomena yang dulu dianggap sekadar tren baru kini telah menjadi pemandangan umum di panggung musik modern.

PLAVE, boy group virtual yang memelopori konsep ini di pasar domestik, menggelar konser solo di KSPO Dome, Seoul Selatan, bulan lalu. Pada November mendatang, mereka akan memulai tur Asia dengan konser di Gocheok Sky Dome, Seoul Barat.

Grup virtual wanita Isegye Idol juga tampil di tempat yang sama pada bulan Mei. Sementara itu, para YouTuber virtual atau VTuber yang awalnya populer melalui platform siaran langsung, kini telah mendominasi ranah media sosial.

Berdasarkan laporan YouTube Culture & Trends, konten VTuber menghasilkan rata-rata 50 miliar penayangan setiap tahun, dan 16 dari 20 kreator global teratas dalam hal donasi Super Chat merupakan VTuber.

Dilansir dari Korea JoongAng Daily, dengan pasar yang terus berkembang pesat, perusahaan teknologi, terutama pengembang gim dengan kemampuan grafis dan motion capture canggih mulai terjun ke industri ini. Banyak studio idol virtual skala kecil dipimpin oleh para veteran industri gim.

Di antara para pemain besar, Netmarble menjadi yang paling agresif dengan meluncurkan grup idola virtual beranggotakan lima orang, Priz-V, pada Februari lalu, serta menggelar konser penggemar di Grand Auditorium Universitas Yonsei pada Mei.

Agensi bakat K-pop tradisional pun tak ingin ketinggalan. Supertone, startup teknologi audio yang diakuisisi oleh HYBE, memperkenalkan grup idola virtual Syndi8 tahun lalu.

SM Entertainment meluncurkan idola berbasis AI bernama naevis dalam konser Januari lalu. Dilansir dari Hindustan Times, gelombang AI telah melanda seluruh dunia, dan industri musik pun tak melewatkan peluang ini.

Dengan memanfaatkan teknologi mutakhir serta beradaptasi di berbagai platform dan media, nævis (naevis) kini menjadi sosok terdepan dalam dunia idola AI di Korea Selatan. Anggota virtual dari SM Entertainment ini menampilkan kekuatan konten yang dihasilkan AI serta suara yang diciptakan menggunakan teknik kecerdasan buatan tingkat lanjut.

Sementara itu, Cube Entertainment baru-baru ini mengumumkan rencana membentuk grup idola virtual melalui usaha patungan di China. Meski bersifat digital, para pelaku industri menilai unsur kemanusiaan tetap menjadi kunci kesuksesan seorang idol virtual.

Meskipun beberapa idola berbasis AI tidak memiliki pengendali manusia di baliknya, sebagian besar idol virtual arus utama masih dikendalikan oleh manusia nyata, yang secara umum dikenal sebagai base.

Penggemar sering kali menikmati interaksi waktu nyata ini, termasuk gangguan teknis atau kesalahan pelacakan gerak yang terjadi. Ciri khas tersebut justru membantu membangun narasi unik bagi setiap komunitas penggemar.

Namun demikian, identitas para pengendali manusia ini umumnya dirahasiakan. Para penggemar bahkan menyebut upaya mengungkap identitas tersebut sebagai “menelan pil merah” merujuk pada film The Matrix (1999) dan banyak di antara mereka yang memilih untuk tidak mengetahuinya.

“Daya tarik idola virtual terletak pada dihapuskannya risiko yang berkaitan dengan moralitas atau kehidupan pribadi seseorang,” ujar perwakilan dari salah satu agensi VTuber lokal. “Menjaga kerahasiaan identitas orang di baliknya sudah menjadi praktik standar.”

Meski idol virtual dan VTuber menggunakan teknologi serupa seperti motion capture dan pelacakan wajah, strategi keduanya berbeda.

VTuber biasanya menargetkan penonton laki-laki melalui konten siaran langsung yang bersifat personal, sementara grup idol virtual lebih menarik bagi penonton perempuan dengan penekanan pada dinamika grup, koreografi, dan pertunjukan panggung.

“VTuber umumnya berorientasi pada audiens pria, sedangkan idol virtual lebih banyak menarik penggemar perempuan,” ujar Kim Hyeong-min, CEO startup 23-Segi Aidle yang memproduksi idol virtual.

Seorang juru bicara Netmarble menambahkan, “Kami membentuk grup ini untuk menghadirkan pengalaman yang berbeda dari VTuber individu, menonjolkan kekompakan grup serta performa di atas panggung.”

Faktor teknologi yang mengagumkan juga menjadi daya tarik utama. Penggemar Plave, misalnya, mengatakan bahwa pengalaman visualnya saja sudah cukup membuat mereka terus kembali.

Seorang penggemar berusia 26 tahun bermarga Lee, yang telah menghadiri dua konser grup tersebut, mengungkapkan, “Setiap kali ada pertunjukan baru, saya selalu menantikan kejutan teknologi apa yang akan mereka tampilkan kali ini.”

Dalam salah satu siaran langsung terbaru, avatar para anggota grup terlihat bermain dodgeball dan voli pantai di laut, dengan rambut basah yang tampak alami saat tersibak angin, semuanya dirender secara real time.

Proses pembuatan idol virtual dimulai dari pemodelan 3D untuk merancang penampilan karakter, termasuk bentuk wajah, postur tubuh, dan busana. Tahap penting berikutnya adalah rigging, yaitu pembuatan kerangka digital yang memungkinkan avatar bergerak.

Pakaian motion capture yang dilengkapi sensor digunakan untuk melacak ekspresi wajah dan gerakan tubuh secara langsung, kemudian diterjemahkan ke dalam gerakan avatar.

Mesin rendering seperti Unreal atau Unity digunakan untuk menyempurnakan visual, meniru detail seperti tekstur kulit, gerakan rambut, dan lipatan pakaian.

Pendapatan idola virtual sebagian besar berasal dari iklan dan kolaborasi berbasis kekayaan intelektual. Perusahaan gim, khususnya, menargetkan penggemar subkultur yang umumnya memiliki kesamaan dengan basis pemain mereka.

Beberapa perusahaan seperti NHN dan Smilegate bahkan telah merilis gim yang menampilkan anggota dari grup virtual terpopuler Jepang, Hololive.

Selain itu, konser dan penjualan album juga mulai menjadi sumber pendapatan yang sangat menguntungkan. Plave, Isegye Idol, dan Hololive semuanya telah melebarkan sayap ke pasar global dengan menggelar tur dunia serta acara temu penggemar.

Mini album terbaru PLAVE, “Caligo Pt. 1” yang dirilis pada Februari lalu, berhasil terjual lebih dari satu juta kopi.

Meski biaya produksi awalnya tinggi, idol virtual cenderung menghasilkan margin keuntungan yang lebih besar dibandingkan artis tradisional karena biaya operasional dan panggung yang lebih rendah.

Tahun lalu, agensi PLAVE, Vlast, mencatat pendapatan sebesar 45,4 miliar won (sekitar US$32,5 juta) dengan laba operasional 9,9 miliar won, setara dengan margin 22%.

Sebagai perbandingan, Cube Entertainment pada periode yang sama membukukan margin sebesar 8%, dengan pendapatan 210 miliar won dan laba operasional 16,6 miliar won.

Idol virtual mungkin belum menyamai skala perusahaan game dan teknologi papan atas Korea, tetapi di sektor hiburan, mereka telah terbukti menjadi taruhan dengan pengembalian yang tinggi.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 08 Oct 2025

Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 31 Okt 2025

Editor: Redaksi Daerah

RELATED NEWS