Mengapa Hoaks Tentang Aspartam Selalu Muncul Lagi

Herlina - Selasa, 01 Juli 2025 10:41 WIB
Belakangan ini, kembali beredar pesan berantai yang menyebut daftar panjang minuman yang diklaim berbahaya karena mengandung aspartam. Dalam pesan itu disebutkan risiko kanker otak, pengerasan sumsum tulang, hingga diabetes, lengkap dengan nama-nama merek terkenal dan narasumber yang disebut dari kalangan medis.(ilustrasi/istimewa)

JAKARTA, LyfeBengkulu- Menjaga kesehatan itu penting. Tapi sama pentingnya memilah mana informasi yang layak kita dengarkan, dan mana yang hanya menakut-nakuti tanpa dasar. Belakangan ini, kembali beredar pesan berantai yang menyebut daftar panjang minuman yang diklaim berbahaya karena mengandung aspartam. Dalam pesan itu disebutkan risiko kanker otak, pengerasan sumsum tulang, hingga diabetes, lengkap dengan nama-nama merek terkenal dan narasumber yang disebut dari kalangan medis.

Bagi siapa pun yang membacanya, isi pesan itu memang terdengar mencemaskan. Tapi sayangnya, informasi tersebut tidak didukung fakta dan merupakan hoaks yang berulang kali diklarifikasi.

Aspartam adalah pemanis buatan rendah kalori yang sudah digunakan secara global selama lebih dari 40 tahun. Rasa manis aspartam sekitar 200 kali lebih kuat dari gula, sehingga menggunakannya dalam jumlah kecil saja sudah cukup.

Banyak produk seperti minuman ringan, minuman energi, suplemen, hingga obat-obatan menggunakan aspartam karena bisa memberikan rasa manis tanpa menambahkan terlalu banyak kalori. Ini sangat membantu bagi orang yang ingin mengurangi konsumsi gula—baik karena alasan kesehatan, diet, atau kebutuhan medis seperti diabetes.

Dokter Gia Pratama, kreator konten kesehatan dan kepala Instalasi Gawat Darurat di salah satu rumah sakit swasta Jakarta Selatan, menyampaikan bahwa aspartam merupakan pemanis buatan yang sudah lama digunakan dalam berbagai produk makanan dan minuman rendah kalori. “Penggunaan aspartam cukup umum, terutama di kalangan individu yang sedang menjalani program penurunan berat badan. Zat ini bisa menjadi bagian dari strategi transisi dalam usaha mengurangi asupan gula, tanpa menghilangkan sepenuhnya rasa manis dari makanan atau minuman,” papar dr. Gia Pratama.

Aman atau Tidak? Ini Kata Lembaga Kesehatan Dunia

Aspartam termasuk salah satu bahan tambahan makanan yang paling banyak diteliti baik oleh badan nasional maupun internasional. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) sudah menanggapi pesan hoaks yang kerap disebar kembali di situs webnya. Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA), dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) semuanya menyatakan bahwa aspartam aman dikonsumsi, selama masih dalam batas konsumsi harian yang dianjurkan.

“Saya ingin menekankan pentingnya edukasi publik terkait konsumsi pemanis buatan. Penggunaan aspartam tetap perlu disesuaikan dengan kondisi kesehatan dan tentunya sebaiknya dikonsumsi dalam batas wajar,” tambah dr. Gia Pratama

Pesan viral yang beredar menyebut bahwa aspartam menyebabkan kanker otak, kerusakan sumsum tulang, dan penyakit berbahaya lain, serta menyertakan daftar produk yang diklaim sebagai pemicu. Namun, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara resmi telah menegaskan bahwa informasi itu tidak benar.

Dikutip dari pernyataan IDI dalam situs Kementerian Komunikasi dan Digital, IDI tidak pernah mengeluarkan rilis atau pernyataan resmi tentang daftar minuman penyebab kanker. IDI juga menyebut nama dokter yang dicatut dalam pesan itu tidak terdaftar sebagai anggota organisasi.

Setiap pernyataan resmi dari IDI hanya dikeluarkan melalui kanal resmi dengan kop surat, tanda tangan ketua umum, dan dapat diverifikasi publik.

Penyebaran informasi palsu soal makanan dan minuman bukan hanya bisa menimbulkan kepanikan, tapi juga membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada produk yang sebenarnya aman dan teruji. Bahkan bisa membuat orang justru menghindari pilihan yang lebih sehat hanya karena takut yang tidak berdasar. Ditambah lagi, pelaku penyebar hoaks bahkan kini sudah bisa dijerat hukum. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 28 ayat 1 menyebutkan, jika ada yang sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, dapat dihukum penjara sampai 6 tahun atau denda sampai 1 milyar rupiah.

Sebagai konsumen, kita punya hak untuk tahu apa yang kita konsumsi, dan itu harus didasarkan pada ilmu, bukan rumor. Kalau ragu, jangan cari jawaban di grup chat, cari ke sumber yang bisa dipercaya seperti BPOM, WHO, atau tenaga medis profesional.

“Menjadi sehat tidak cukup dengan menjauhi gula, karbohidrat, atau bahan kimia, tapi juga dengan menjauhi informasi yang menyesatkan. Di tengah derasnya arus hoaks, sikap kritis adalah bagian dari gaya hidup sehat,” pungkas dr. Gia.

Bagikan

RELATED NEWS