Kemenag Cabut Izin Pesantren Cabul, Jamin Keberlanjutan Pendidikan Santri

Herlina - Rabu, 12 April 2023 23:59 WIB
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono Abdul Ghofur. (foto : istimewa)

JAKARTA, LyfeBengkulu.com- Tindak kekerasan seksual kembali mengguncang dunia pendidikan di Indonesia. Wildan Mashuri, pimpinan Pesantren Al-Minhaj di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, diduga telah melakukan tindakan cabul terhadap lebih dari 15 santri selama beberapa tahun terakhir. Kabar tersebut membuat geger masyarakat dan mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Agama.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Waryono Abdul Ghofur, mengutuk tindakan yang dilakukan oleh pimpinan Ponpes tersebut. Pihaknya menyatakan bahwa setiap tindak pidana harus ditindak tegas, tanpa terkecuali. Karena itulah, izin Pesantren Al-Minhaj akan dicabut. Pendampingan terhadap para korban juga dilakukan untuk memastikan mereka dapat melanjutkan pendidikannya.

"Meski izin pesantren telah dicabut, hak pendidikan para santri harus dilindungi. Kementerian Agama bersama dengan lembaga terkait seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (KPPPA) dan pihak kepolisian, akan menyelesaikan kasus tindak kekerasan seksual ini. Kementerian Agama juga berkoordinasi dengan Kanwil Kemenag Jawa Tengah dan beberapa pesantren lainnya untuk memberikan perhatian pada kelanjutan pendidikan para santri," katanya.

Menurutnya, proses pelindungan korban tindak kekerasan pada anak dan perempuan, apalagi tindak kekerasan seksual, perlu melibatkan banyak stakeholders. Para pihak perlu memikirkan nasib korban kekerasan. Misalnya, apakah langsung dipulangkan ke orang tua? Lalu bagaimana masa depan pendidikannya? Kalau korban hamil dan punya anak, bagaimana? Kalau korban tidak mau pulang dititipkan ke siapa?

“Ini semua harus dipikir. Kita tidak bisa hanya menyelesaikan pelakunya saja, tapi juga perlu dipikirkan nasib korbannya seperti apa. Nah, untuk itu kita libatkan Dinas Sosial,” jelasnya.

“Jadi kita juga harus melindungi korbannya, terutama anak-anak dan perempuan. Dan, penanganannya juga harus komprehensif,” tandasnya.

Ditambahkan Waryono, Kementerian Agama juga terus melakukan sejumlah langkah pencegahan dan upaya preventif agar peristiwa yang sama tidak terulang. Upaya tersebut antara lain dengan melakukan pembinaan dan sosialisasi pesantren ramah anak. “Kami punya buku panduan pesantren ramah anak. Ini kami sosialisasikan,” ucapnya.

Kemenag, kata Waryono, juga terus menjalin komunikasi dengan pesantren untuk saling mengingatkan bahwa santri adalah titipan orang tua kepada para kiai, ibu nyai, dan ustaz. Sehingga, santri harus diperlakukan seperti anak sendiri.

“Artinya, santri harus mendapatkan perlindungan dan pembelajaran. Kalau sakit, diobati. (santri) Tidak boleh mendapatkan kekerasan. Ini terus kami komunikasikan dan sosialisasikan,” jelas Waryono.

Proses sosialisasi ini terus berjalan secara bertahap. Sebab, jumlah pesantren memang sangat banyak, lebih 37 ribu yang terdaftar di Kemenag. Sosialisasi disampaikan kepada para Kepala Bidang dan Kepala Seksi di Kanwil Kemenag Provinsi yang bertugas dalam pembinaan pesantren. Sosialisasi juga diberikan kepada perwakilan pesantren, baik melalui forum dalam jaringan (daring) atau luar jaringan (luring).

“Kami sampaikan bahwa pengasuh pesantren harus membaca regulasi terkait perlindungan anak dan perempuan. Bahkan, saya menyebutnya regulasi itu sebagai "kitab kuning baru". UU perlindungan anak dan perempuan agar menjadi panduan pesantren dan seluruh masyarakat Indonesia,” tuturnya.

“Jadi, pesantren tidak hanya membaca kitab kuning (keagamaan) ansich, tapi juga kitab kuning dalam bentuk regulasi yang berlaku di Indonesia,” sambungnya.

Kemenag sudah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Regulasi ini antara lain mengatur masalah pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama. Aturan ini mendorong lembaga pendidikan agama untuk membuat satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).

Terkait penanganan, regulasi ini mengatur alur pelaporan bagi korban kekerasan seksual. Kemenag akan bekerja sama dengan Dinas Sosial dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk membantu mendampingi korban dari aspek psikologis. Diatur juga sikap lembaga pendidikan terhadap pelaku dan korban. Para korban harus diberi kesempatan untuk tetap melanjutkan pendidikan.

Terkait pelaku kekerasan seksual, Waryono menjelaskan bahwa regulasi mengatur tentang sanksi dalam bentuk administratif dan pidana. Jika memenuhi unsur pidana, pelaku diserahkan ke penegak hukum. “Kalau administratif bisa berupa pemecatan,” kata Waryono.

“Regulasi juga mengatur bahwa pelaku harus membayar ganti rugi untuk memulihkan mental dan kesehatan korban,” katanya lagi.

Sebagai tindak lanjut dari PMA 73 tahun 2022, Kemenag saat ini tengah melakukan finalisasi Keputusan Menteri Agama (KMA) tentang Panduan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. KMA ini diperlukan sebagai regulasi teknis yang akan mengatur langkah dan upaya pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan binaan Kemenag.

“Kekerasan seksual adalah perbuatan yang bertentangan dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Karenanya, praktik kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh terjadi lagi,” tandasnya. (**)

Editor: Herlina

RELATED NEWS