Nikmat Sesaat, Risiko Panjang: Ini 8 Dampak Buruk Makanan Olahan
JAKARTA – Rak-rak di toko bahan makanan kini dipadati oleh beragam produk olahan. Walaupun rasa renyah keripik memang menggoda dan memuaskan, kita tentu menyadari bahwa makanan olahan tidak selalu baik untuk kesehatan. Tapi, sebenarnya, apa saja dampak yang ditimbulkan dari konsumsi makanan olahan ini?
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan makanan olahan dan bagaimana pengaruhnya terhadap kesehatan?
Apa Itu Makanan Olahan?
Camilan olahan bukan hanya sebatas sereal kemasan atau makanan cepat saji. Secara teknis, menurut Academy of Nutrition and Dietetics, makanan olahan mencakup makanan yang telah dimasak, dibekukan, dikemas, atau mengalami perubahan dalam komposisi nutrisinya.
Namun, apa saja yang sebenarnya termasuk dalam kategori makanan olahan? Misalnya, apakah keripik termasuk makanan olahan? Berikut penjelasannya, mulai dari yang minim proses hingga yang paling banyak mengalami pengolahan.
- 10 Perusahaan Ternama yang Sedang Buka Lowongan Program Management Trainee, Jangan Ketinggalan!
- Penyaluran KPR FLPP Mendominasi, BRI Dukung Program 3 Juta Rumah
- 5 Rekomendasi Lokasi Diving Indah di Indonesia yang Wajib Anda Kunjungi
Makanan olahan minimal: Jenis makanan yang termasuk dalam kategori ini adalah makanan yang dikemas atau diawetkan saat berada dalam kondisi paling segar. Contohnya seperti tomat kalengan, sayuran yang sudah dipotong, buah beku, atau ikan tuna dalam kaleng.
Makanan olahan berat: Makanan siap santap biasanya masuk dalam kategori olahan yang lebih berat. Contoh makanan ultra-olahan mencakup biskuit, granola, dan daging olahan. Sementara itu, makanan yang paling banyak mengalami proses umumnya berupa makanan siap saji beku.
Dilansir dari Livestrong, makanan olahan sering kali dianggap sebagai penyebab gagalnya pola makan sehat, padahal, tidak semua jenis makanan olahan pantas mendapatkan reputasi buruk tersebut.
Untuk memahami apa itu makanan ultra-olahan, kita perlu tahu terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan makanan yang tidak diolah, menurut Frances Largeman-Roth, RDN, ahli gizi dan penulis buku Everyday Snack Tray.
Makanan yang tidak diolah adalah makanan yang masih dalam bentuk aslinya (atau mendekati bentuk aslinya), seperti buah dan sayuran segar, kacang-kacangan dan biji-bijian tanpa garam, serta daging, unggas, dan makanan laut mentah.
Seperti yang bisa dilihat, daftar ini sebenarnya cukup terbatas. Sebagian besar makanan mengalami proses tertentu agar aman dan/atau lebih enak untuk dikonsumsi.
Dalam beberapa kasus, proses pengolahan justru bisa menambah kandungan vitamin dan nutrisi melalui proses fortifikasi. Fortifikasi adalah penambahan nutrisi tertentu ke dalam makanan guna meningkatkan nilai gizinya. Sebagai contoh, susu diperkaya dengan vitamin D, nutrisi yang secara alami tidak terdapat dalam susu dan yang sering kali kurang kita konsumsi.
Pasteurisasi merupakan salah satu bentuk pengolahan makanan yang justru memberikan manfaat bagi kesehatan. Menurut International Dairy Foods Association, proses ini melibatkan pemanasan makanan (umumnya produk susu) untuk membunuh bakteri berbahaya yang mungkin terkandung di dalamnya. Tanpa proses ini, banyak produk susu bisa menjadi tidak aman untuk dikonsumsi.
Selain manfaat kesehatannya, makanan olahan atau kemasan juga bisa menjadi pilihan praktis, terutama bagi mereka yang memiliki gaya hidup sibuk, menurut ahli gizi Sarah Schlichter, RD.
Namun, makanan yang mengalami proses tinggi seperti keripik kemasan dan kue-kue panggang dapat berdampak buruk bagi kesehatan jika dikonsumsi secara berlebihan atau terlalu sering.
Hal ini karena proses pengolahan yang intens sering kali mengurangi atau bahkan menghilangkan kandungan vitamin dan mineral alami dalam makanan tersebut.
Dampak Makanan Olahan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tidak semua makanan olahan berdampak buruk bagi kesehatan. Namun, mengonsumsi makanan yang sangat diproses secara berlebihan dan terlalu sering dapat menimbulkan masalah. Inilah alasan mengapa makanan olahan bisa berisiko bagi kesehatan:
1. Berat Badan Bisa Naik
Makanan olahan sering dikaitkan dengan kelebihan makan dan kenaikan berat badan karena biasanya mengandung kalori yang tinggi.
Sebuah studi kecil yang dipublikasikan di Cell Metabolism pada Juli 2019 menunjukkan orang yang menjalani pola makan tinggi makanan olahan cenderung mengonsumsi sekitar 500 kalori lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang mengonsumsi makanan dengan proses minimal.
Berdasarkan tinjauan pada Desember 2017 di Current Obesity Reports, konsumsi makanan ultra-olahan dalam jumlah besar berkaitan dengan risiko obesitas yang lebih tinggi.
Selain itu, studi pada November 2019 yang dimuat dalam Current Treatment Options in Gastroenterology menyebutkan beberapa jenis camilan yang dapat memicu kenaikan berat badan meliputi keripik kentang, daging olahan, biji-bijian olahan seperti roti putih dan nasi putih, makanan manis, serta minuman berpemanis seperti soda.
2. Risiko Diabetes Lebih Tinggi
Diabetes tipe 2 adalah kondisi yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko, seperti usia dan genetika. Namun, pola makan termasuk salah satu faktor yang bisa diubah, menurut tinjauan pada April 2017 di International Journal of Health Sciences. Tinjauan tersebut menemukan pola makan tinggi makanan gorengan dan manis-manisan dapat meningkatkan risiko resistensi insulin dan diabetes tipe 2.
Selain itu, studi pada Desember 2019 yang dipublikasikan di JAMA Internal Medicine menemukan semakin tinggi porsi makanan ultra-olahan dalam pola makan, semakin besar pula risiko seseorang mengembangkan diabetes tipe 2.
Setelah mengamati lebih dari 100.000 orang, para peneliti menyimpulkan bahwa konsumsi makanan olahan dapat meningkatkan risiko diabetes tipe 2, bahkan setelah mempertimbangkan faktor gaya hidup dan kondisi sosial demografis.
3. Risiko Kanker Bisa Meningkat
Meski belum ada satu pun bahan atau jenis makanan ultra-olahan yang terbukti secara langsung menyebabkan kanker, pola makan tinggi makanan olahan telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian secara keseluruhan. Hal ini berdasarkan studi pada Mei 2019 yang dimuat dalam BMJ, yang menganalisis pola makan hampir 20.000 orang selama lima tahun.
Dalam studi tersebut, penyebab utama kematian adalah kanker, dan mereka yang mengonsumsi makanan ultra-olahan dalam jumlah tinggi (lebih dari empat porsi per hari) memiliki risiko kematian 62% lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan konsumsi lebih rendah.
Yang lebih mengkhawatirkan, risiko kematian dari segala penyebab meningkat sebesar 18% hanya dengan menambahkan satu porsi makanan olahan per hari.
Secara lebih spesifik, daging olahan telah dikaitkan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal, sehingga Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) mengklasifikasikannya sebagai zat karsinogenik, menurut American Cancer Society (ACS).
Bahkan, berdasarkan data dari lebih dari 800 studi, konsumsi 50 gram daging olahan setiap hari dapat meningkatkan risiko kanker kolorektal sebesar 18%.
4. Kesehatan Jantung Bisa Terganggu
Studi lain pada Mei 2019 yang diterbitkan di BMJ dan melibatkan lebih dari 100.000 orang menunjukkan konsumsi makanan ultra-olahan berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit jantung.
Beberapa jenis makanan yang ditemukan berhubungan dengan risiko tersebut antara lain lemak dan saus ultra-olahan, daging olahan, makanan manis, minuman olahan, serta camilan asin.
Penelitian lain yang dipresentasikan pada November 2019 oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC), menggunakan data dari lebih dari 13.000 orang dewasa, menemukan bahwa kesehatan jantung secara keseluruhan menurun setiap kali asupan kalori dari makanan ultra-olahan meningkat sebesar 5 persen.
Menurut American Heart Association (AHA), kadar natrium yang tinggi berhubungan dengan tekanan darah tinggi, yang merupakan faktor risiko utama penyakit jantung dan stroke.
Mengingat sebagian besar asupan natrium masyarakat Amerika berasal dari makanan olahan, memilih produk rendah natrium bisa menjadi langkah untuk mengurangi dampak negatif dari makanan olahan.
5. Risiko Stroke Bisa Meningkat
Sebuah makalah yang diterbitkan pada Juli 2015 di jurnal Stroke menunjukkan adanya kaitan antara konsumsi makanan olahan, terutama daging olahan dengan peningkatan risiko stroke. Pola makan yang tinggi makanan olahan umumnya juga mengandung natrium tinggi, yang telah lama dikaitkan dengan risiko stroke yang lebih besar.
Selain itu, jika terlalu banyak mengonsumsi makanan olahan, asupan buah dan sayuran segar yang kaya akan kalium cenderung berkurang. Kombinasi ini bisa berbahaya, menurut Lindsey Pfau, RD, pendiri Rise Up Nutrition, yang menjelaskan bahwa natrium dan kalium memiliki peran penting dalam mengatur tekanan darah.
6. Kesehatan Usus Bisa Memburuk
Usus yang sehat ditandai dengan keberagaman jenis dan jumlah bakteri yang ada di dalamnya.
Pola makan sangat berpengaruh terhadap komposisi bakteri dalam saluran pencernaan. Tinjauan pada Agustus 2019 di jurnal Microorganisms menunjukkan makanan tinggi serat dapat mendorong pertumbuhan bakteri usus yang baik sekaligus membantu mengurangi peradangan pada sistem pencernaan.
Makanan hasil fermentasi, seperti yogurt dan sauerkraut, juga terbukti mendukung kesehatan usus.
Selain itu, para peneliti kini mulai mendapatkan petunjuk lebih jelas tentang dampak pemanis buatan terhadap kesehatan usus. Tinjauan pada Oktober 2019 di jurnal Nutrients menemukan pemanis buatan dapat mengubah komposisi bakteri usus secara negatif, terutama pada individu yang sebelumnya jarang mengonsumsinya.
Penelitian tersebut juga menemukan hubungan antara pemanis buatan dan gangguan toleransi glukosa.
7. Kesehatan Otak Bisa Terganggu
Sebuah studi kohort terhadap hampir 500.000 orang menemukan konsumsi daging olahan berkaitan dengan peningkatan risiko demensia, berdasarkan penelitian yang dipublikasikan pada Maret 2021 di The American Journal of Clinical Nutrition.
Selain itu, makanan olahan umumnya mengandung gula rafinasi dalam jumlah tinggi, yang dapat memicu peradangan dan stres oksidatif dalam tubuh. Menurut Harvard Health Publishing, terdapat banyak bukti yang menunjukkan pola makan tinggi gula rafinasi berhubungan dengan penurunan fungsi otak dan memburuknya gangguan suasana hati, seperti depresi.
8. Memperpendek Umur
Sebuah studi pada Februari 2019 yang dimuat dalam JAMA Internal Medicine meneliti lebih dari 44.000 orang paruh baya di Prancis.
Hasilnya menunjukkan selama masa tindak lanjut selama tujuh tahun, peningkatan konsumsi makanan olahan dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi.
- Baca Juga: Ini Dia Makanan yang Bisa Merusak Usus
Tak hanya itu, studi lain pada Mei 2019 yang diterbitkan di BMJ menemukan, mengonsumsi lebih dari empat porsi makanan olahan per hari berkaitan dengan peningkatan risiko kematian akibat penyebab non-alami hingga 62%.
Peneliti juga mencatat bahwa setiap tambahan satu porsi makanan olahan per hari dapat meningkatkan risiko tersebut sebesar 18%.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 27 Jul 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 28 Jul 2025