Office Frogging, Tren Karier Gen Z yang Tak Mau Terkekang Upah Rendah
JAKARTA – Dulu, ada masa ketika seseorang bisa mulai bekerja di instansi pemerintah sejak usia muda, membeli kendaraan pertamanya, lalu bertahan di tempat yang sama hingga puluhan tahun, dan akhirnya pensiun dengan hadiah jam emas atau selendang sebagai tanda penghargaan.
Tapi masa itu sudah lewat. Sekarang muncul fenomena baru bernama office frogging, di mana para pekerja Gen Z cenderung sering berpindah kerja, bahkan lebih cepat daripada selesainya satu siklus performance review. Kalau dulu loyalitas dianggap sebagai kebanggaan, kini hal itu sama kunonya dengan disket. Generasi ini tak sekadar ganti pekerjaan, tapi benar-benar melompat dari satu perusahaan ke perusahaan lain, membuat tim HR kewalahan setiap kali harus melakukan exit interview.
Bagi mereka, jika tidak ada peluang belajar atau berkembang, saatnya melompat. “Office frogs adalah sebutan bagi karyawan yang tidak bertahan lama di satu pekerjaan,” ujar Peter Duris, salah satu pendiri aplikasi karier berbasis AI, Kickresume, kepada Forbes. “Biasanya, mereka berasal dari generasi Z dan tidak ragu untuk mengambil lompatan, atau dalam hal ini, loncatan kantor,” imbuhnya.
- Negara-Negara dengan Skor IQ Tertinggi di Dunia, Ada di Asia?
- Waspada! Kebiasaan Menabung Ini Justru Membuat Anda Rugi Tanpa Sadar
- Mengenal Bisnis Padel: Lagi Tren di Indonesia, Bangkrut di Swedia
Dilansir dari New York Post, layaknya katak hijau kecil yang melompat dari satu daun teratai ke daun lain, para pekerja Gen Z, khususnya mereka di bawah usia 27 tahun, juga ramai-ramai “melompat” dari pekerjaan lama.
Mereka sering berpindah peran dengan harapan menemukan posisi baru yang menawarkan stabilitas, kepemimpinan yang dapat dipercaya, tingkat stres dan kecemasan yang rendah, dan tentu saja, gaji yang lebih tinggi.
Office frogging kini jadi fenomena, mirip tren “revenge quitting,” yang dipelopori oleh generasi muda kecewa lebih memilih kembali ke pasar kerja yang tidak pasti daripada naik tangga karier di perusahaan mereka sekarang.
Sebuah survei Glassdoor terhadap 1.000 profesional di AS bahkan mengungkap, 68% pekerja muda tidak tertarik mengejar posisi manajerial kecuali ada tambahan anggaran besar dan jabatan yang lebih bergengsi. Kalau tidak ada itu semua, “katak kantor” pun siap melompat lagi.
Duris menilai tren “tidak betah lama” ini sebagai sesuatu yang wajar. Menurutnya, sering kali karyawan merasa sudah tidak mendapatkan ilmu baru atau mulai bosan dengan peran mereka sekarang.
“Istilahnya, kadang pekerja butuh kesempatan untuk mempelajari keterampilan baru sekaligus meningkatkan gaji, dan hal itu mungkin hanya bisa dicapai lewat peluang kerja yang berbeda,” lanjutnya.
Meski begitu, Duris juga mengingatkan bahwa terlalu sering berpindah pekerjaan bisa membuat kandidat terlihat kurang menarik di mata perekrut di masa depan.
Dilansir dari ETV Bharat, bagi Gen Z, pekerjaan bukanlah hukuman seumur hidup. Mereka lebih menganggapnya seperti langganan Netflix, diperpanjang kalau suasananya cocok, dibatalkan kalau sudah tidak nyaman.
Berbeda dengan generasi ayah mereka yang melihat “loyalitas” sebagai bertahan di kubikel yang sama sampai pensiun, Gen Z memaknai loyalitas sebatas dukungan setia pada aplikasi pesan makanan favorit.
Kalau melihat berbagai studi soal dunia kerja, ada tiga kata kunci yang selalu muncul, fleksibilitas, tujuan, dan vibes. Gen Z ingin jadwal kerja yang fleksibel, bukan sekadar yoga mat fleksibel di gym kantor.
Mereka menginginkan rasa tujuan dalam pekerjaan, bukan daftar target kerja (KRA) sepanjang undang-undang. Mereka juga mendambakan budaya kerja yang lolos “tes vibes.” Kalau suasananya seperti diawasi kepala sekolah galak, mereka langsung cabut.
Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z sudah belajar tentang kecerdasan emosional di sekolah. Itu sebabnya mereka lebih terbuka membicarakan kesehatan mental, sekaligus berharap punya atasan yang tak hanya jago Excel, tapi juga paham sisi emosional timnya.
Dan tentu saja, mereka ingin gaji lebih tinggi. Kenaikan upah di perusahaan yang sama sering terasa seperti kereta India saat musim hujan, selalu terlambat. Tapi kalau pindah ke perusahaan lain, boom, langsung ada peningkatan instan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Distika Safara Setianda pada 01 Oct 2025
Tulisan ini telah tayang di balinesia.id oleh Redaksi pada 01 Okt 2025