Kasri Satra: Rumah Pintar Bukan Sekadar Bangunan, Tapi Tempat Kami Bermimpi

Senin, 04 Agustus 2025 21:07 WIB

Penulis:Herlina

Screenshot 2025-08-04 210407.png
Sejak 2021, Rumah Maggot KBA Jorong Tabek menjadi solusi pengelolaan limbah organik dari produksi gula semut dan aktivitas harian warga. Limbah diolah menjadi pakan maggot (larva lalat BSF), yang kemudian dimanfaatkan untuk budidaya ikan. (foto: istimewa)

SOLOK, LyfeBengkulu.com- Ketua Kampung Berseri Astra (KBA) Jorong Tabek, Kasri Satra, menyebut transformasi Rumah Pintar di desanya sebagai bukti nyata bahwa masyarakat pedesaan mampu menciptakan perubahan besar dari keterbatasan. Rumah panggung sederhana yang dibangun melalui gotong royong warga pada 2019, kini menjadi laboratorium ekonomi sirkular dan pusat inspirasi desa wisata edukatif di Talang Babungo, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.

“Rumah Pintar ini bukan cuma bangunan. Ini tempat kami bermimpi, bereksperimen, dan membuktikan bahwa desa bisa mandiri dengan cara yang lestari,” ujar Kasri Satra saat ditemui di sela aktivitas produksi gula semut.

Menurut Kasri, seluruh ekosistem ekonomi yang tumbuh di KBA Jorong Tabek berbasis pada prinsip ekonomi sirkular yang menyatukan antara pengetahuan lokal, pelestarian lingkungan, dan penguatan ekonomi kerakyatan.

“Kami mulai dari hal sederhana: dari nira pohon enau jadi gula semut, limbahnya jadi pakan maggot, maggotnya jadi pakan ikan. Sampah plastik kami kelola lewat bank sampah. Semua ada nilainya, semua punya siklus,” paparnya.

Kasri menegaskan, keberadaan Rumah Pintar telah menjadi pusat kegiatan bagi setidaknya 90 penggiat ekonomi lokal, mayoritas perempuan, yang terlibat dalam pengolahan gula semut, budidaya maggot, hingga manajemen homestay untuk mendukung sektor desa wisata edukatif.

“Dulu daerah ini relatif terisolir, sekarang sudah jadi tujuan belajar dan wisata. Wisatawan datang, beli produk kami, tinggal di homestay warga. Kami bangun ekonomi tanpa merusak lingkungan,” tambahnya.

Kasri juga menjelaskan bahwa pendapatan dari berbagai inisiatif seperti Kolam Ikan KBA dan hasil penjualan dari bank sampah turut dialokasikan untuk program kesehatan dan pendidikan masyarakat.

“Sebagian keuntungan kami gunakan untuk biaya pengobatan warga kurang mampu, dan membantu anak-anak muda yang berprestasi. Saat ini, kami bahkan bisa mendukung beasiswa untuk 20 pelajar Indonesia ke Jepang,” ujar Kasri dengan mata berbinar.

Bagi Kasri dan warga Jorong Tabek, ekonomi sirkular bukan sekadar konsep, tapi cara hidup baru yang membawa kemandirian dan keberlanjutan. Dengan dukungan komunitas dan jaringan lintas sektor, ia berharap model ini bisa direplikasi ke desa-desa lain di Indonesia.

Produksi Gula Semut Berbasis Dataran Tinggi

Produksi gula semut berbasis nira pohon enau menjadi salah satu tulang punggung ekonomi kerakyatan di KBA Jorong Tabek. Dengan melibatkan sekitar 20 kepala keluarga, proses produksi dilakukan secara tradisional namun efisien, memanfaatkan nira dari pohon enau yang tumbuh di dataran tinggi lebih dari 1.500 mdpl.

“Gula semut kami punya cita rasa khas karena suhu di sini berkisar 18 sampai 24 derajat. Kadar gulanya tinggi dan teksturnya lebih halus, itu jadi keunggulan produk kami,” jelas Kasri Satra, Ketua KBA Jorong Tabek.

Saat ini, kapasitas produksi harian mencapai 10 hingga 20 kilogram, namun bisa ditingkatkan menjadi 50 kilogram per hari bila akses pasar lebih terbuka. Kasri menekankan bahwa pengembangan rumah produksi ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga melestarikan pengetahuan lokal.

Rumah Maggot dan Bank Sampah: Limbah Jadi Berkah

Sejak 2021, Rumah Maggot KBA Jorong Tabek menjadi solusi pengelolaan limbah organik dari produksi gula semut dan aktivitas harian warga. Limbah diolah menjadi pakan maggot (larva lalat BSF), yang kemudian dimanfaatkan untuk budidaya ikan.

“Kami tidak lagi melihat limbah sebagai masalah. Di sini, semua ada siklusnya. Limbah organik jadi maggot, lalu jadi pakan ikan. Limbah non-organik kami kumpulkan lewat bank sampah, semua dicatat seperti tabungan,” ujar Kasri.

Sampah non-organik seperti botol plastik dan logam dikumpulkan, ditimbang, lalu disetor ke bank sampah. Setiap warga memiliki buku tabungan yang mencatat kontribusinya, yang bisa diuangkan kapan saja. Sebagian hasil penjualan limbah dikembalikan ke warga, sebagian lagi dipakai untuk membiayai kegiatan ekonomi bersama, termasuk pembangunan fasilitas umum di kawasan wisata KBA.

Kolam Ikan KBA: Ekowisata yang Berdaya Guna

Selain sebagai tempat rekreasi, Kolam Ikan KBA juga merupakan bagian penting dari sistem ekonomi sirkular. Maggot yang telah berkembang dari limbah organik dijadikan pakan utama untuk budidaya ikan. Kolam ini kini menjadi destinasi wisata pancing yang menarik pengunjung dari luar daerah.

“Pendapatan dari kolam ini rata-rata bersihnya sekitar lima juta rupiah per bulan. Uangnya kami gunakan untuk bantu warga yang butuh biaya berobat, atau biaya sekolah anak-anak yang keluarganya kurang mampu,” jelas Kasri.

Dengan sistem manajemen berbasis komunitas, kolam ikan menjadi contoh konkret bahwa wisata dan keberlanjutan bisa berjalan beriringan, menghasilkan manfaat ekonomi sekaligus sosial.

Dampak Ekonomi Sirkular: Dari Desa Tertinggal ke Desa Wisata Edukatif

Transformasi KBA Jorong Tabek dari wilayah terisolir menjadi desa wisata edukatif tak lepas dari penerapan prinsip ekonomi sirkular yang berbasis komunitas. Kini, dengan lebih dari 45 homestay yang siap menampung wisatawan, desa ini berkembang menjadi destinasi belajar dan liburan yang mengedepankan keberlanjutan.

“Dulu kami bukan siapa-siapa. Sekarang orang dari kota datang ke sini buat belajar soal pengelolaan limbah, budidaya maggot, sampai produksi gula semut. Kami buktikan bahwa desa bisa maju dengan cara yang mandiri dan ramah lingkungan,” ujar Kasri.

Tak hanya itu, penguatan ekonomi ini juga berdampak langsung pada akses pendidikan dan kesehatan warga. Sebagian keuntungan dari usaha-usaha berbasis sirkular ini disalurkan untuk mendanai beasiswa anak-anak muda, termasuk 20 pelajar Indonesia yang berkesempatan menempuh pendidikan di Jepang. (**)