Rentan Risiko Psikoaktif, Penggunaan Ganja untuk Medis Hanya Alternatif
BENGKULU,LyfeBengkulu.com- Penggunaan ganja yang dikenal juga dengan sebutan mariyuana, atau cannabis, dalam bidang medis hanya bersifat alternatif, namun bukan pilihan pertama. Pada ganja, terdapat beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi. Seperti disampaikan Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zullies Ikawati.
Seperti di Amerika, lanjut Zullies, senyawa cannabinoid sudah dikembangkan sebagai obat terapi tambahan, untuk mengobati kejang yang sudah tidak direspon obat lain. Seperti pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS).
"Di kasus yang viral untuk penyakit Cerebral Palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja," katanya.
- Siap-siap Pembelian Pertalite akan Diatur Mulai Agustus 2022
- Bagaimana Menghindar dari Hubungan yang Toxic ?
- Tips untuk Berbisnis Makanan dan Minuman
Secara klinis, Zullies menjelaskan senyawa cannabinoid sudah teruji klinis dapat mengatasi kejang. Namun untuk terapi anti kejang yang dibutuhkan adalah senyawa cannabinoidnya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja. Sebab, ganja jika masih dalam bentuk tanaman maka masih akan bercampur dengan senyawa tetrahydrocannabinol. Kondisi ini akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.
Pada ganja selain senyawa cannabinoid, senyawa utamanya adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif. Psikoaktif adalah suatu kondisi yang bisa mempengaruhi psikis serta menyebabkan ketergantungan dan efeknya ke arah mental.
- Bahaya Racun Timbel Peleburan Aki Bekas dan Cat Merusak Syaraf Anak
- Surplus Beras Hingga 7 Juta Ton, Indonesia Swasembada Pangan
- BKKBN Optimis Tingkatkan Ekonomi Keluarga Akseptor di Masa Pandemi Covid-19
"Dkatakan ganja medis, istilah medis ini mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dosis tertentu. Kalau ganja biasa dipakai, misal dengan diseduh itu kan ukurannya tidak terstandarisasi, tapi saat dibuat dalam bentuk obat bisa disebut ganja medis," paparnya.
Bukan Pilihan Pertama
Guru Besar Fakultas Farmasi UGM ini menuturkan jika ganja bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi penyakit termasuk cerebral palsy. Namun, masih ada obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang.
"Ganja bisa jadi alternatif namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni seperti CBD, terukur dosisnya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten itu tidak masalah," tegasnya.
- MinyaKITA, per Liter Rp 14.000 Gantikan Minyak Goreng Curah
- Smartphone POCO F4 Siap Meluncur di Indonesia Akhir Juni
- Terbang dengan Citilink, Bayar Pakai Paylater Cicilan 0 Persen
Menurutnya, semestinya bukan legalisasi tanaman ganja-nya karena potensi untuk penyalahgunaannya sangat besar dan siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lainnya walaupun alasannya adalah untuk terapi.
"Karenanya yang dilegalkan bukan tanaman ganjanya, tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan telah teruji klinis dengan evaluasi yang komprehensif akan risiko dan manfaatnya,"pungkasnya. (**)